Bacaan Pendamping Film Unfinished Indonesia
— ditulis oleh Dr. Moh. Iqbal Ahnaf, koordinator riset film Unfinished Indonesia
Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara mayoritas Muslim yang menjadikan Islam sebagai pondasi penting dalam sistem demokrasi dan ideologi nasionalisme yang inklusif terhadap berbagai agama dan ribuan suku yang beragam. Pada masa awal kemerdekaan terjadi perdebatan di kalangan pendiri bangsa karena sebagian tokoh Muslim menuntut agar Indonesia menjadi negara Islam dengan alasan bahwa mayoritas penduduk adalah Muslim. Tetapi mempertimbangkan realitas bahwa warga negara non-Muslim memiliki jumlah pemeluk yang signifikan, dan bahkan hidup sebagai mayoritas di sejumlah wilayah, pada akhirnya para pendiri bangsa, termasuk tokoh-tokoh dari organisasi Islam terbesar sepakat untuk menerima Pancasila, sebuah landasan ideologi negara yang mengidentifikasi bangsa berdasarkan nilai ketuhanan yang universal tanpa menempatkan satu agama (Islam) sebagai agama negara.
Kompromi politik pada waktu itu menyisakan perdebatan yang tidak tuntas tentang Piagam Jakarta. Ketika aspirasi sebagian umat Islam agar Indonesia menjadi negara Islam tidak terwujud, harapan bertumpu pada klausul dalam pembukaan UUD 1945 yang terdiri dari tujuh kata, berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Klausul ini mengisyaratkan bawah negara berkewajiban untuk menerapkan syariat Islam. Tetapi hal ini kemudian menimbulkan polemik sehingga akhirnya tujuh kata yang dikenal dengan istilah Piagam Jakarta ini dihapus dari konstitusi. Umat Islam pada umumnya menerima keputusan ini, tetapi tidak sedikit yang menganggap kejadian ini sebagai siasat yang mengorbankan kepentingan politik umat Islam. Karena sejarah ini, Piagam Jakarta menjadi dokumen simbolik yang menandai pertarungan ideologis antara kekuatan-kekuatan yang mengusung aspirasi negara Islam dan demokrasi. Pada masa awal reformasi saat sidang istimewa MPR, aspirasi untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta disuarakan oleh sebagian anggota parlemen, tetapi tidak mendapatkan dukungan yang signifikan; bahkan partai-partai yang mempunyai latar belakang organisasi keIslaman tidak mendukung tuntutan ini. Mayoritas Muslim di Indonesia meyakini bahwa bentuk negara dan konstitusi yang ada sudah sejalan dengan Islam.
Film Unfinished Indonesia menggambarkan konstruksi pemahaman empiris dan teologis Muslim Indonesia yang melegitimasi kesesuaian bentuk negara dan pemerintahan Indonesia dengan Islam. Ideologi politik Islam yang demokratis dan multikultural ini telah menjadi pandangan yang diterima secara luas meskipun bukan tanpa tantangan. Landasan teologis Islam dan nasionalisme di Indonesia bisa dilihat dalam sejarah dan khazanah intelektual dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Di kalangan NU, penerimaan terhadap bentuk negara yang ada tercermin dalam pesan pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari. yang kemudian menjadi slogan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Menurut intelektual NU Ahmad Suaedy, pesan ini merefleksikan ijtihad keagamaan para ulama NU yang menganggap bahwa bentuk negara Indonesia saat ini sudah sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sikap politik nasionalis NU kemudian dipertegas dalam Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama pada tahun 1983 di Situbondo. Sebagaimana dinyatakan dalam risalah hasil Munas di bawah ini, jelas bahwa bagi NU sistem politik Indonesia saat diterima tidak hanya sebagai kompromi politik tetapi juga sah secara agama. Deklarasi tersebut berbunyi:
Bismillahirrahmanirrahim
1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
4) Penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Demikian juga di kalangan Muhammadiyah, yang melihat bentuk negara Indonesia saat ini sebagai darul ‘ahdi was-syahadah (negara kesekapatan dan kesaksian). Menurut Najib Burhani, intelektual Muhammadiyah, konsep ini menyiratkan babwa bentuk negara Indonesia saat ini sudah sesuai dengan substansi perintah untuk menerapkan syariah sebagaiman Nabi Muhammad membangun negara yang multikultural dalam deklarasi Piagam Madinah. Pada tahun 2015, saat Muktamar ke-47 di Makassar, Muhammadiyah mempertegas sikap politik yang mendukung Pancasila dengan prinsip kewarganegaraan yang setara dalam Munas pada tahun 2019, yang hasilnya berbunyi:
“Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; secara esensi selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam dan dapat diisi serta diaktualisasikan menuju kehidupan yangdicita-citakan umat Islam, yaitu Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Negara Pancasila yang mengandung jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu dapat diaktualisasikan sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur yang berperikehidupan maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT.
Bahwa Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridla Allah SWT. Pandangan kebangsaan tersebut sejalan dengan cita-cita Islam tentang negara idaman Baldatun Thayyiabtun Wa Rabbun Ghafur, yaitu suatu negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah.”
Bagi kedua organisasi besar ini, bentuk negara Indonesia tidak perlu dipertanyakan. Yang lebih penting adalah bagaimana mengisi kehidupan bangsa dengan nilai-nilai keislaman.
Aspirasi Pengistimewaan Islam
Sejarah Indonesia tidak pernah sepi dari pergumulan politik Islam yang menyuarakan tuntutan megara Islam atau penerapan hukum syariah secara luas baik dalam bentuk perjuangan politik atau militer.
Pergumulan ini bisa dilihat sebagai ‘ujian’ terhadap ideologi Islam yang demokratis dan multikultural di Indonesia. Film Unfinished Indonesia menggambarkan wujud dari ujian itu, yang mengemuka beberapa tahun terahir dengan munculnya diskursus penolakan terhadap “pemimpin kafir”. Wacana ini disuarakan dalam serial Aksi Bela Islam yang menentang kepimimpinan gubernur DKI Jakarta pada waktu itu yang beragama Kristen dan berasal dari etnis Tionghoa. Aksi yang awalnya ditunjukkan untuk menuntut hukuman bagi ceramah sang gubernur yang dianggap “menodai” Islam meluas menjadi kampanye anti pemimpin kafir.
Pembedaan hak politik berdasarkan wacana antagonis Islam vs kafir ini membelah masyarakat berdasarkan orientasi dan pilihan politik mereka mada masa Pemilu, terutama Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilihan Presiden tahun 2019. Lebih jauh, wacana sektarian ini mempertanyakan ideologi kebangsaan yang tidak membedakan warga negara berdasarkan agama dan etnis. Narasi eksklusif ini meluas dan memperkuat posisi gerakan-gerakan Islam yang mempunyai aspirasi untuk menegakkan supremasi Islam di Indonesia. Sebagaimana diutunjukkan dalam ceramah Bachtiar Natsir, aspirasi politik ini tampak dalam penggunaan jargon “Al-Maidah 51” yang merujuk pada Qur’an surah Al Maidah ayat 51, yang oleh sebagian kalangan dimaknai sebagai larangan menerima pempimpin non-Muslim. Lewat organisasi Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Bachtiar Natsir dan tokoh-tokoh Muslim lain menyebarkan narasi tentang “keistimewaan” posisi Muslim di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan. Mereka menyatakan bahwa umat Islam paling berjasa dalam kemerdekaan Indonesia dan mewarisi kejayaan pemerintahan Islam masa lalu. Oleh karena itu, supremasi Islam sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah 51 seharusnya ditegakkan di Indonesia yang mayoritas Muslim.
Di ranah kehidupan sehari-hari wacana “Muslim vs kafir” mewujud dalam praktik-praktik kehidupan sosial dan ekonomi yang eksklusif dengan mengusung semangat kontestasi agama, seperti jaringan pengusaha Muslim, narasi tentang jaringan waralaba yang disebut sebagai “bisnis musuh Islam” dan perumahan Islam. Meskipun jaringan bisnis bernuansa keagamaan yang eksklusif ini tidak selalu berhasil, ia mencerminkan aspirasi keagamaan yang betolak belakang dengan semangat konstitusi yang memperlakukan warga negara secara setara terlepas dari identitas suku dan agama.
Menurut Inaya Rakhmani, dosen ilmu komunikasi UI yang melakukan penelitian tentang konteks dan motif para peserta aksi 212, menguatnya orientasi keagamaan yang formalistik, konservatif, dan dengan semangat penguatan identitas yang antagonistik tidak bisa semata-mata dilihat sebagai isu agama. Selain menjadi ekspresi politik identitas, ia juga menjadi saluran kegelisahan terhadap masalah kesenjangan ekonomi. Faktor kesenjangan ekonomi ini berkelindan dengan penguatan identitas yang mendukung aspirasi pengistimewaan Islam. Mereka yang mendukung aspirasi ini berasal dari latar belakang keislaman yang beragam, tetapi mereka mempunyai keyakinan yang sama bahwa umat Islam kehilangan hak untuk memimpin di Indonesia. Sistem politik dan hukum saat ini dianggap belum sejalan dengan aspirasi politik umat Islam dan karena itu mereka berjuang untuk menyatukan kekuatan politik umat Islam sehingga penerapan syariah sebagaimana tertuang dalam Piagam Jakarta yang dihapus bisa terwujud.
Respons Kekuatan Islam Inklusif
Ketika bandul politik seakan mengarah pada kebangkitan ideologi pengistimewaan atau supremasi Islam, tokoh-tokoh Islam inklusif atau mereka yang percaya bahwa sistem politik yang ada di Indonesia sudah sejalan dengan Islam memberikan respons. Basis-basis Islam inklusif mengonsolidasikan peran meraka untuk mempertahankan pandangan politik tentang hubungan antara Islam dan negara sebagaimana diterima pada masa awal kemerdekaan, yakni Pancasila dan UUD 1945 yang dipandang telah sesuai dengan syariah Islam.
Dalam film Unfinished Indonesia, konsolidasi kekuatan Islam inklusif ini dicontohkan dalam dalam sosok Gus Muwafiq, kiai NU yang berpengaruh luas di tingkat akar rumput. Ia berkeliling dari satu-daerah ke daerah lain guna memberikan pesan tentang karakter Islam dan Indonesia yang tidak cocok dengan ideologi negara Islam yang ekstrem. Pengajian-pengajian Gus Muwafiq selalu dihadiri massa dalam jumlah besar yang menunjukkan bahwa narasi politik Islam yang ia sampaikan bisa diterima oleh kalangan Muslim yang luas.
Di antara narasi yang disampaikan Gus Muwafiq dalam banyak ceramahnya adalah tentang istilah kafir. Menurutnya, berdasarkan kesepakatan bangsa Indonesia yang memperlakukan seluruh warga negara secara setara, istilah kafir tidak tepat digunakan di Indonesia. Sebagaimana direkam dalam film ini, Gus Muwafiq meyakini bahwa istilah kafir lebih tepat digunakan dalam konteks negara yang sedang berperang dengan entitas negara lain yang memusuhi Islam sebagaimana dialami oleh Nabi Muhammad ketika memimpin negara Madinah. Bagi Gus Muwafiq, keyakinan ini penting dijaga karena Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa yang dipikul oleh satu negara, berbeda dengan wilayah Eropa dan Timiur Tengah yang terdiri dari banyak negara meskipun warganya berasal dari suku bangsa yang relatiF homogen. Meskipun umat Islam berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan, peran para pahlawan yang beragama selain Islam tidak bisa dinafikan. Oleh karena itu, diskursus yang membelah warga negara berdasarkan diskursus kafir versus Muslim menurutnya bisa merusak tatanan kebangsaan yang telah dibangun dari ijtihad para ulama masa lalu.
Selain NU, peran Muhammadiyah dalam memberikan basis Islam bagi nasionalisme Indonesia yang inklusif juga sangat penting. Meskipun Muhammadiyah lebih terbuka terhada narasi-narasi Islam eksklusif, secara kultural tidak sulit menemukan praktik-praktik multikulural di kalangan masyarakat Muhammadiyah. Dalam film ini sisi inklusif Muhammadiyah ditunjukkan dalam sosok Abah Rosyid, tokoh Muslim dari Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menerima penghargaan Maarif Award sebagai tokoh toleransi. Di Kabupaten Sikka, NTT, Abah Rosyid menjadi tokoh penting pembauran warga Muslim yang minoritas dengan warga Katolik yang mayoritas. Ia menjadi pelopor dalam menciptakan ruang-ruang perjumpaan lintas agama melalui lembaga pendidikan dan kemanusiaan Islam yang inklusif terhadap warga non-Muslim.
Maumere, kota kecil di bagian timur Indonesia, adalah contoh dari keragaman demografi Indonesia. Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim (87% penduduk tercatat beragama Islam), 23 persen dari sekitar 260 juta penduduk Indonesia adalah jumlah yang besar. Di samping itu, tidak sedikit wilayah di Indonesia dihuni oleh penduduk yang mayoritas beragama selain Islam seperti Bali, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Di Maumere, jumlah warga beragama Islam sekitar 13 persen. Mereka hidup di tengah mayoritas penduduk yang beragama Kristen (Katolik dan Protestan).
Meskipun jumlah Muslim di Maumere kecil, Abah Rosyid dan para tokoh Muhammadiyah di sana bisa mendirikan IKIP Muhammadiyah Maumere. Abah Rosyid bercerita, pendirian perguruan tinggi Muhamamdiyah di wilayah mayoritas Kristen ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman toleransi yang sudah mengakar kuat. Pendirian IKIP Muhammadiyah sendiri menurut Abah Rosyid juga tidak lepas dari dukungan masyarakat Kristen di Maumere. Saat ini IKIP Muhammadiyah Maumere berkembang menjadi lembaga pendidikan yang cukup maju dan menerima mahasiswa dari latar belakang agama yang berbeda. Tidak hanya mahasiswa yang beragam, tidak sedikit dosen di IKIP Muhammadiyah Maumere beragama Kristen. Sebagaimana ia sampaikan dalam film ini, Abah Rosyid menerima nilai toleransi ini dari prinsip keagamaan Muhammadiyah tentang ta’awun, yaitu anjuran untuk bekerja sama dan tolong menolong dalam kebaikan. Dari pengalaman persaudaraan yang begitu dekat dengan umat berbagai agama, Abah Rosyid meyakinkan bahwa istilah kafir tepat digunakan dalam pergaulan di ranah publik.
Penutup
Narasi-narasi keagamaan inklusif sebagaimana didakwahkan oleh Gus Muwafiq dan Abah Rosyid hanyalah contoh dari narasi-narasi serupa yang diterima secara luas di Indonesia. Dengan landasan teologis ini, sebagian umat Islam di Indonesia tidak lagi mempertanyakan kesesuaian antara Islam dan tatatan politik yang ada di Indonesia. Begitu juga narasi keIslaman yang inklusif tidak semata berasal dari organisasi Muhammadiyah dan NU. Terlepas dari paham keagamaan organisasi-organisasi Islam di Indonesia yang beragam, sejauh ini kesesuaian antara Islam dan Pancasila masih menjadi konsensus.
Meski demikian, proses kontestasi dalam mendefinisikan konstruksi kebangsaan Indonesia tidak bisa dibilang selesai. Upaya-upaya untuk memperebutkan pemaknaan atas Indonesia, termasuk dari kalangan yang meyakini bahwa sistem politik di Indonesia sat ini tidak sejalan dengan Islam, terus berlangsung. Bachtiar Natsir adalah contoh tokoh yang terus berjuang untuk mewujudkan supremasi atau kepemimpinan Islam di Indonesia. Dan ia tidak sendiri. Ia memiliki pengaruh yang luas, dan ada banyak tokoh-tokoh Muslim lain, dengan latar belakang organisasi keagamana beragam, yang mempunyai aspirasi yang sama. Momentum yang mendukung atau melemahkan gerakan kedua arus keIslaman yang berseberangan ini bisa datang silih berganti, tetapi imajinasi politik tentang Islam dan keindonesiaan senantiasi masih dalam proses. Ia unfinished, belum selesai.