Bacaan Pendamping Film Beragama Lintas Budaya
—ditulis oleh Ronald Adam, mahasiswa CRCS UGM angkatan 2019
Perkembangan agama tidak selalu dimediasi oleh politik, ekonomi, atau pendidikan, tetapi juga oleh budaya lokal. Dibanding cara lain, melalui budaya lokallah agama cenderung mendapat ekspresi yang langgeng, berterima luas, dan minim resistensi, walau proses ini sering tidak terjadi dalam waktu singkat. Perkembangan agama semacam ini juga terjadi di Indonesia.
Sebagian sarjana menyebut ekspresi keagamaan melalui budaya itu dengan istilah akulturasi. Prosesnya di berbagai daerah tidak seragam. Beberapa ilmuwan sosial dan humaniora bahkan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memahami bagaimana proses tersebut berlangsung di masyarakat.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai bagaimana agama mengakomodasi dan/atau diekspresikan melalui budaya lokal, juga sebaliknya, yaitu bagaimana budaya lokal mengejawantah dalam agama, Indonesian Pluralities merilis film Beragama Lintas Budaya, film ketiga dari seri film pendek untuk menemani siswa-siswi sekolah menengah. Film ini merekam berbagai macam ekspresi keagamaan lintas budaya lokal yang hari ini masih kita jumpai.
Film pendek ini menampilkan beberapa praktik kesenian seperti tari Ratoh Duek dan tari Saman (Aceh), tari Pendet (Bali), kesenian Palang Pintu (Betawi), Krida Wibawa (Kristen), dan barongsai (Konghucu). Film pendek ini ingin menunjukkan relasi timbal balik antara agama dan budaya: keagamaan tumbuh subur melalui kebudayaan lokal dan pada saat yang sama agama menjadi medium bagi kebudayaan lokal itu sendiri untuk senantiasa lestari.
Dua Relasi
Relasi agama dan budaya lokal bisa disederhanakan dalam dua jenis. Pertama resistensi dan kedua akomodasi. Resistensi agama terhadap budaya lokal kadang dimulai dari internal agama itu sendiri.
Dalam dunia Kristen, resistensi agama terhadap budaya lokal cenderung berangkat dari teologi yang eksklusif, sebagaimana tercatat dalam sejarah awal ketika Kekristenan Eropa dibawa dan disebarkan ke dunia ‘Timur’. Dalam teologi ini, budaya lokal dianggap sebagai bagian dari budaya kaum pagan (heathen) yang tidak kompatibel dengan ajaran Kristiani dan karenanya mesti ditolak. Pada gilirannya, resistensi agama terhadap budaya lokal ini berujung pada depaganisasi, yakni penolakan terhadap apa yang bagi ajaran Kristen mereka anggap ‘penyembahan berhala’, dan dekulturasi, yakni penolakan terhadap budaya yang mengandung unsur pagan itu.
Namun, sejarah tidaklah sesederhana itu. Di dunia Kristen juga muncul satu respons teologi yang berbeda, yaitu teologi kontekstual. Istilah lainnya adalah indigenisasi, inkulturasi, adaptasi, atau kontekstualisasi teologi. Teologi ini berangkat dari prinsip bahwa teologi adalah rumusan doctrinal yang terus berkembang untuk menjawab persoalan-persoalan aktual. Teologi ini lebih terbuka terhadap budaya lokal dan mengubah relasi agama-budaya dari resistensi menuju akomodasi. Di Indonesia, teologi ini dikembangkan antara lain oleh beberapa figur seperti Franciscus van Lith di Katolik dan Kiai Sadrach di Kristen (Protestan).
Di dunia Islam, khususnya di Indonesia, terjadi hal sebaliknya. Persebaran Islam mula-mula di Indonesia cenderung dalam bentuk yang terbuka terhadap budaya lokal. Bahkan banyak proses Islamisasi di Nusantara yang menggunakan budaya sebagai media untuk menyebarkan ajarannya. Resistensi Islam terhadap budaya lokal justru muncul seturut menyebarnya semangat puritanisasi (pemurnian) dari Arab pada abad ke 18-19 yang dibawa oleh Muslim kelas menengah (yang baru tumbuh saat itu) yang pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Gerakan puritan ini marak di Indonesia karena melihat banyaknya fenomena yang mereka pandang sebagai ‘percampuran’ agama dan budaya.
Penyebaran Agama melalui Budaya Lokal
Di Indonesia, peran budaya lokal tidak bisa dilepaskan dari proses persebaran agama. Kasus Kristenisasi di Jawa oleh Kiai Sadrach yang pengikutnya disebut Kristen Jawa, misalnya, disebut sebagai Kristenisasi tersukses di Jawa pada saat itu dan mengalahkan berbagai misionaris Eropa lainnya. Dalam catatan Sutarman Partonadi Sadrach’s Community and Its Contextual Roots: A Nineteenth Century Javanese Expression of Christianity (2001), Sadrach bisa mendapat 7.564 pengikut dalam kurun waktu 22 tahun. Dalam kurun waktu yang relatif hampir sama, misionaris Eropa hanya bisa mendapatkan rata-rata 100 pengikut. Hal itu bukan hanya karena peran Sadrach sebagai agamawan lokal yang membuat Kristen diterima oleh orang-orang Jawa, tetapi karena Sadrach tidak pernah meninggalkan budaya lokal Jawa.
Salah satu contoh kasus lainnya yaitu awal Islamisasi di Jawa. Merle Calvin Ricklefs telah mengulas proses ini dalam bukunya Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries (2006). Buku ini menggambarkan apa yang Ricklefs sebut sebagai ‘sintesis mistik’. Bentuk ini adalah hasil dari menguatnya identitas keislaman sekaligus identitas orang Jawa. Mereka melaksanakan syariat Islam tanpa menegasikan budaya lokal, termasuk hal-hal yang oleh kaum puritan dianggap bidah.
Pada gilirannya, dalam uraian Ricklefs, identitas Islam dan Jawa tersebut disatukan oleh Sultan Agung (berkuasa 1613-1646). Beberapa unsur Jawa yang berasal dari tradisi Hindu-Budha atau agama lokal tetap dipertahankan. Bukti arkeologis yang paling jelas adalah batu makam-makam umat Islam di Trowulan dan Tralaya yang disertai dengan tulisan al-Quran dan pada saat yang sama menggunakan penanggalan Saka alih-alih Hijriyah dan dengan angka Jawa kuno alih-alih angka Arab. Islamisasi yang dijalankan Wali Songo juga menjadikan budaya sebagai media yang penting dalam penyebaran ajaran Islam. Pewayangan, misalnya, menjadi bentuk konkret kebudayaan Jawa yang menjadi medium penyebaran ajaran agama. Contoh lainnya adalah masjid Kudus yang terkenal dengan bentuk arsitektur pra-Islam. Secara umum Islamisasi di Jawa juga lebih menekankan aspek esoterisme dan mistisisme Islam. Di sinilah budaya lokal berperan vital untuk menjadi wadah bagi ‘sintesa mistik’ tadi.
Selain di Jawa, Christine Dobbin dalam karyanya Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847 (1983) menunjukan bahwa di masyarakat Minang sampai abad ke-18, bentuk ‘sintesis’ agama dan mistisisme lokal masih bisa ditemukan. Di keluarga Kerajaan Buo-Sumpur Kudus, Sumatera Barat, yang sudah memeluk agama Islam, misalnya, praktik mistisisme tradisional dalam kerajaan tidak ditinggalkan. Beberapa ritual magis masih sering dijumpai era itu. Keluarga kerajaan juga masih menghormati benda-benda sakral. Menurut Dobbin, meski sudah memeluk Islam, tidak ada perubahan yang radikal dalam kehidupan masyarakat Minang di era itu, sebelum puritanisme Minang (gerakan Padri) di akhir abad 18 dan awal abad 19 menyebar.
Surau, yang hari ini identik dengan sistem pendidikan Islam di Minang, juga memiliki akar genealogis yang erat dengan tradisi biara Buddha Adityawarman pada tahun 1356. Tetapi karena surau sudah terlanjur menjadi bagian dari masyarakat Minang, kaum Muslim menggunakannya sebagai satu media untuk menyebarkan ajaran Islam. Hal ini yang memungkinkan Islam bisa diterima oleh kebanyakan petani di pedalaman yang masih memegang teguh kepercayaan lokal dan mistisisme yang pada saat itu merupakan model kepercayaan yang kompatibel dengan kehidupan bercocok tanam.
Di Bali, apa yang Michel Picard sebut dalam artikelnya From Agama Hindu Bali to Agama Hindu and back Toward a relocalization of the Balinese religion? (2011) dengan ‘agama Hindu Bali’ merupakan suatu hasil dari proses adaptasi Hinduisme di Bali. Bentuk agama ini berbeda dengan Hinduisme di India. Terlepas bahwa agama Hindu Bali lahir dan terbentuk dalam kondisi ekspansi antara kekuatan Islam di Jawa dan pendudukan Kristen kolonial di Bali, agama Hindu Bali merupakan bentuk adaptasi dengan kepercayaan lokal. Proses sosiologis itu di satu sisi menggambarkan pembentukan identitas pembeda dari dua kekuatan Islam dan Kristen, dan di sisi lain orang Bali tidak menganggap agama sebagai suatu wilayah yang bisa dipisahkan sepenuhnya dari aspek-aspek kehidupan masyarakat Bali.
Dalam konteks itulah, menurut Picard, orang Bali memandang diri mereka sebagai entitas tunggal sebuah (suku) bangsa. Identitas kolektif mereka berdiri di atas kesadaran yang sama yaitu berpegang pada ciri-ciri sosio-antropologis yang spesifik yang berpijak pada kehidupan masyarakat Bali. Konsekuensi itu menyebabkan agama Hindu Bali membentuk ulang formasinya yang bersandar pada tatanan tradisional bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari adat lokal. Pada gilirannya, bentuk agama Hindu Bali ini juga merupakan bentuk konkret tempat agama bisa bertahan dan tersebar ke seluruh pelosok Bali melalui kebudayaan lokal.
Akulturasi Agama dan Budaya Lokal
Dari interaksi agama dan budaya lokal yang amat beragam ekspresinya di penjuru Nusantara itu, lahir teori-teori besar. Salah satunya adalah akulturasi. Dengan memahami kata kunci ini saja, kita bisa memahami mengapa terjadi persinggungan erat antara agama dan budaya di Indonesia.
Pada 1953, beberapa ilmuwan mengusulkan The Social Science Research Council (SSRC) untuk mengadakan seminar tentang akulturasi dalam rangka mensintesiskan teori akulturasi yang sudah ada dan mengeksplorasinya untuk riset-riset selanjutnya. Dari seminar yang diadakan pada bulan Juli dan Agustus tahun 1953 itu, terbit satu artikel berjudul Acculturation: An Exploratory Formulation (1954) di jurnal American Anthropologist yang ditulis oleh tiga antropolog (Siegel, Vogt, dan Watson) dan satu sosiolog (Broom). Dalam artikel tersebut, SSRC mengartikan akulturasi sebagai proses perubahan atau percampuran budaya sebagai akibat dari pertemuan secara terus-menerus antara minimal dua unsur kebudayaan berbeda yang otonom. Dalam beberapa kasus, kedua unsur tersebut masih bertahan dan bisa dilacak asal-usul kebudayaannya sehingga kadang disebut antara lain sebagai ‘akomodasi budaya’, ‘transmisi budaya’, ‘difusi’, ‘sinkretisme’, atau ‘sintesis’.
Namun, dalam kasus lain, dua atau lebih unsur budaya berbeda yang otonom tersebut bisa membentuk satu budaya baru sehingga keduanya susah untuk dilacak lagi asal muasalnya. Proses ini kadang disebut ‘fusi’, ‘asimilasi’, atau istilah lain yang senada. Tentu ini bukan suatu konsep yang final karena masih banyak varian lain yang terus berkembang dalam membaca interaksi budaya tersebut.
Terlepas dari itu, di banyak fenomena perjumpaan agama dan budaya di Indonesia, akulturasi menunjukan dua gerak dari dua agensi yang sama-sama aktif baik itu dari sisi agama maupun budaya lokal. Di satu sisi, ada karakter akomodatif dari agama terhadap budaya. Di sisi lain, adanya karakter kreatif dari orang-orang lokal dalam mengadopsi agama.
Karena itu, bagi beberapa kalangan ilmuwan sosial, baik proses Islamisasi oleh Wali Songo maupun Kristenisasi oleh van Lith dan Sadrach juga bisa dipahami sebagai proses Jawanisasi: proses ketika agama dan budaya lokal memiliki peran yang aktif dalam beradaptasi satu sama lain. Poin ini menjadi penting mengingat budaya dan orang-orang lokal sering kali dilihat sebagai agensi yang pasif dalam proses akulturasi.
Beragama Lintas Budaya Hari Ini
Film Beragama Lintas Budaya menyoroti bagaimana fenomena interaksi antara agama dan budaya yang beragam penjelasannya itu melalui kesenian Tari Ratoh Duek di Aceh. Dengan tari ini, ajaran agama Islam bisa tersebar ke berbagai pelosok di Aceh. Ratoh berarti pujian, sementara Duek berarti duduk. Tarian ini memiliki unsur keislaman seperti yang terkandung dalam lantunan syair berisikan makna salam, selawat, dan puji-pujian kepada Yang Maha Kuasa. Fenomena ini menunjukan relasi agama dan budaya lokal yang akomodatif satu sama lain. Tarian ini, yang juga menjadi bagian dari adat masyarakat Aceh, menjaga agar ajaran agama terus melekat dalam aspek kehidupan masyarakat Aceh.
Kesenian-kesenian lainnya yang ditunjukan dalam film pendek ini juga menunjukan bahwa agama dan budaya lokal tidak harus dipertentangkan, tetapi bisa berdampingan satu sama lain atau bahkan melahirkan suatu ekspresi keagamaan-kebudayaan baru. Masing-masing menjadi cermin keragaman dari kehidupan berbudaya dan beragama di Indonesia.***