Bacaan Pendamping Film Beta Mau Jumpa

ditulis oleh Marthen Tahun, koordinator riset film Beta Mau Jumpa

Tak lama setelah berakhirnya Orde Baru pada 1998, Indonesia menyaksikan kekerasan komunal di sejumlah daerah. Salah satunya adalah konflik antaragama di Ambon yang terjadi pada 1999-2002 dan menelan korban tak kurang dari lima ribu jiwa dan mengakibatkan setengah juta orang mengungsi.

Bagaimana situasinya kini di Ambon? Film Beta Mau Jumpa mengangkat kisah rekonsiliasi sehari-hari dari akar rumput dengan fokus pada gerakan perdamain yang diinisiasi kaum perempuan dan anak muda. Gerakan perempuan dan anak muda ini berupaya menjembatani kesenjangan hubungan Kristen-Muslim yang telah lama mengalami segregasi.

Film berdurasi 35 menit yang dibuat menjelang akhir 2018 ini menyoroti kerja sama dua komunitas perempuan, yaitu Community Center Betabara di Kayu Tiga yang didirikan perempuan Kristen dan Community Center Lograf di Batu Merah Dalam yang didirikan perempuan Muslim, serta aktivitas anak muda lintas agama di Jalan Merawat Perdamaian (JMP) yang memperjuangkan toleransi dan perdamaian pascakonflik melalui penyebaran narasi damai bagi anak-anak di kampung-kampung Kristen dan Muslim.

Film antara lain fokus pada warga Kristen dan Muslim yang sebelum konflik tinggal di kampung Batu Merah Dalam, yang pada saat itu dihuni mayoritas Muslim. Ketika konflik, warga Kristen mengungsi ke Wisma Atlet Karang Panjang selama enam tahun, dan kemudian direlokasi ke Kayu Tiga. Hubungan pertetanggaan beda agama ini kini hilang, dan Batu Merah Dalam kini hanya dihuni Muslim saja, sementara warga Kristen eks-pengungsi sekarang menetap di relokasi Kayu Tiga.

Namun demikian, kaum perempuan tak surut langkah untuk merajut kembali hubungan pertetanggaan itu. Tokoh yang difiturkan dalam film antara lain adalah Cherly Caroline Laisina (l. 1962), sering dipanggil Ote Patty, yang kini tinggal di relokasi Kayu Tiga, dan dulu merupakan warga Batu Merah Dalam. Ketika masih di Batu Merah Dalam, rumah Ote bersebelahan langsung dengan rumah Nafsiah (l. 1969), yang juga difiturkan dalam film. Film juga mengangkat kedekatan hubungan antara Ote dengan Maimuna Palupessy (l. 1967), sering dipanggil Oncu, yang merupakan warga Batu Merah Dalam dan juga difiturkan dalam film.

Apa yang signifikan dari hubungan masyarakat ‘biasa’ yang diangkat dalam film ini? Signifikansinya ada ketika ia diletakkan dalam konteks konflik Ambon yang penuh kekerasan dan segregasi yang menegas pascakonflik.

Tahapan konflik

Konflik berdarah yang dipicu oleh pertengkaran dua pemuda Muslim dan Kristen di Terminal Batu Merah Ambon tepat di hari raya Idul Fitri 19 Januari 1999 itu tidak membutuhkan waktu lama untuk menyebar ke berbagai wilayah di Maluku Tenggara dan Maluku Utara. Gerry van Klinken dalam bukunya Communal Violence and Democratization in Indonesia (2007) menjelaskan kejadian konflik Ambon dalam lima tahap yang diselingi masa tanpa konfrontasi bersenjata. Pertengkaran pemuda di Terminal Batu Merah itu menandai tahap pertama. Simbol-simbol identitas sosial keagamaan mulai dipakai secara eksplisit sejak peristiwa ini untuk menegaskan segregasi antarkelompok.

Pada pertengahan tahun 1999, menjelang pemilu nasional, suasana Kota Ambon berangsur tenang. Tetapi pada bulan Desember, suasana pertikaian kembali memuncak, yang menandai tahap kedua. Pertikaian ini diduga berkaitan dengan dua peristiwa pada saat itu, yaitu perusakan bangunan Gereja Protestan Maluku (GPM) Silo di pusat Kota Ambon oleh kelompok Muslim dan serangan kelompok milisi Kristen terhadap suatu perkampungan Muslim di Tobelo, Maluku Utara, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sekitar 800 warga Muslim.

Tahap ketiga dari Konflik Ambon ditandai oleh tibanya ribuan anggota kelompok Laskar Jihad di Ambon. Kehadiran milisi bersenjata asal Jawa ini pada April 2000 di Ambon mengubah peta dan skala konflik, antara lain dengan mulai dipakainya senjata-senjata berat dalam pertempuran maupun munculnya aliansi-aliansi baru dalam pertikaian di Ambon.

Tahap keempat adalah suatu periode konflik yang berlangsung secara sporadik dan baru berhenti pada bulan Februari 2002, saat diadakannya Perundingan Malino II. Perwakilan dari sejumlah kelompok yang bertikai difasilitasi oleh pemerintah pusat dalam satu forum kesepakatan di Malino untuk mengakhiri pertikaian. Walapun tidak sepenuhnya mengakomodasi semua pihak yang berseteru, perundingan itu berhasil menghentikan penggunaan kekerasan bersenjata dan mobilisasi massa dalam skala besar.

Tahap kelima ditandai oleh kejadian serangan terhadap Kampung Kristen Soya. Tetapi peristiwa yang diduga bermaksud memancing kerusuhan baru itu tidak mendapat tanggapan melalui penggunaan kekerasan secara massal. Setelah itu suasana di Ambon berangsur tenang, kecuali adanya benturan antarmassa dalam peristiwa arak-arakan warga memperingati ulang tahun RMS (Republik Maluku Selatan) pada April 2004.

Penegasan segregasi

Kekerasan dan pengrusakan secara masif yang terjadi di masa konflik memaksa ribuan warga meninggalkan rumahnya untuk mencari perlindungan. Sebagian besar warga terdampak mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsian. Ketika suasana mulai reda, pemerintah mengambil langkah relokasi terhadap ribuan pengungsi dengan memisahkan mereka menurut agama yang dianutnya. Salah satu akibatnya, segregasi pemukiman penduduk menjadi semakin tajam berdasarkan identitas agama.

Pendekatan keamanan dalam bentuk kebijakan segregasi tersebut memiliki konsekuensi: hampir semua kampung di Ambon dihuni oleh warga dari satu agama yang sama, misalnya kampung Kuda Mati, Batu Meja, dan Batu Gantung yang hanya dihuni Kristen; atau kampung Batu Merah, Kebon Cengkeh, dan Waringin yang hanya dihuni Muslim. Mereka yang termasuk dalam kelompok agama minoritas di satu kampung memilih untuk pergi. Walaupun pemisahan itu awalnya dimaksudkan untuk sementara waktu, kebijakan yang tidak direvisi kembali itu lambat laun bersifat permanen.

Segregasi antarkampung memang bukanlah hal baru di Ambon atau di Maluku pada umumnya. Munculnya kebijakan pemisahan pemukiman berdasarkan identitas agama dapat ditelusuri hingga ke zaman kolonial Belanda, tetapi baru pada konflik 1999 terjadi penegasan kembali secara ekstrem terhadap batas-batas wilayah menurut identitas agama. Bila pemerintah kolonial memakai politik segregasi agama sebagai alat kontrol terhadap jajahannya, pada masa konflik 1999 faktor agama dianggap sebagai ancaman bagi hidup bersama sesama warga. Dengan cara pandang demikian, pemerintah menerapkan kebijakan segregasi untuk meredam dan mencegah timbulnya instabilitas sosial-politik dalam kehidupan bermasyarakat.

Respons terhadap segregasi

Fakta segregasi wilayah di Ambon sejauh ini direspons dengan kurang lebih tiga pendekatan. Pertama, ada upaya mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut, yaitu dengan memulangkan pengungsi ke lokasi sebelumnya. Upaya ini berhasil untuk kasus tertentu melalui suatu kerja sama lintas pemangku kepentingan. Salah satu contohnya adalah pemulangan warga pengungsi kampung Kristen Kariu di pulau Haruku ke lokasi asal mereka. Warga Kampung Kariu yang diapit oleh dua kampung Muslim Pelau dan Ori keluar dari kampungnya untuk menyelamatkan diri setelah mendapat serangan pada konflik tahun 1999 itu. Warga kampung Kariu tersebar sebagai pengungsi di  kampung Kristen Hulaliu dan Aboru di Pulau Haruku, dan sebagian lainnya mengungsi ke pulau Ambon. Setelah konflik mulai reda, upaya-upaya bersama muncul dari berbagai pihak untuk memulangkan masyarakat adat Kariu ke lokasi asal mereka. Proses panjang koordinasi dan kerja sama berbagai pihak, baik pemerintah, LSM, tokoh dan lembaga adat, lembaga agama, maupun lembaga-lembaga ad-hoc yang dibentuk untuk tujuan dimaksud, akhirnya berbuahkan hasil. Pada tahun 2005 warga masyarakat Kariu yang tersebar itu dipulangkan kembali ke lokasi mereka dan diterima secara adat oleh kampung-kampung Muslim tetangganya.

Kedua, upaya menghidupkan kembali hunian bersama di area-area percampuran warga Muslim dan Kristen. Menguatnya segregasi pada konflik 1999 dengan sendirinya menghilangkan area pembauran di masing-masing kampung. Tetapi di tempat-tempat tertentu dengan karakteristik masyarakatnya yang beragam, ada inisiatif bersama masyarakat Muslim dan Kristen untuk kembali ke lokasi mereka. Langkah itu kemudian didukung oleh pemerintah. Contoh pendekatan ini adalah area hunian di wilayah Poka-Rumah Tiga di sekitar kampus Universitas Pattimura Ambon. Area tersebut merupakan wilayah pengembangan pemukiman yang relatif baru baru pada masa sebelum konflik, dihuni oleh warga Muslim dan Kristen secara menyebar. Pada masa konflik, kedua kelompok warga berbeda agama itu sama-sama mengungsi untuk sementara waktu. Ketika suasana konflik mulai reda masing-masing warga dengan inisiatif sendiri kembali ke lokasi mereka masing-masing, dengan cara saling memberikan jaminan keamanan. Mereka mulai dengan  membangun kembali pemukiman dan rasa percaya terhadap tetangga yang berbeda agama.

Ketiga, menerima segregasi hari ini sebagai realitas baru bagi masyarakat. Masyarakat yang sudah terlanjur tinggal di lokasi yang baru mulai menerima atau secara terpaksa hidup dalam kondisi tersebut sebagai konsekuensi dari konflik yang berkepanjangan di masa lalu. Sebagian besar kondisi perkampungan di Ambon masuk dalam  kategori ini. Warga minoritas di daerah yang didominasi oleh pemeluk satu agama tertentu untuk alasan keamanan terpaksa meninggalkan lokasi tersebut. Tempat yang kosong kemudian diisi oleh pihak lain yang seagama dengan warga kampung itu.

Relokasi pengungsi berdampak pada munculnya kawasan-kawasan hunian baru di Ambon, misalnya pemukiman relokasi Kayu Tiga ditempati eks-pengungsi warga Kristen Protestan yang berasal dari kampung Batu Merah Dalam yang dihuni mayoritas Muslim. Sebelumnya mereka pernah menetap selama 6 tahun di lokasi pengungsian Wisma Atlet Karang Panjang. Contoh lain adalah pemukiman Kate Kate yang merupakan relokasi pengungsi warga Muslim yang mayoritas beretnis Buton dan pernah menempati kampung Kristen Eerie.

Seturut pemisahan kampung ini, beberapa persoalan muncul, misalnya yang berkaitan dengan klaim atas aset yang ditinggalkan. Konflik membuat banyak orang lari meninggalkan tempat tinggalnya tanpa sempat mengurus aset yang ditinggalkan. Sejumlah aset akhirnya dilepas ke pihak lain dengan nilai tukar yang jauh lebih rendah, sementara yang lainnya dibiarkan tak terurus atau telah beralih pengguna tanpa disertai kejelasan pengalihan status kepemilikan yang sah. Kondisi semacam ini jamak terjadi di sebagian besar kampung di Ambon.

Di samping aset materiil, konflik memiliki dampak yang tak kalah serius di aspek hubungan sosial. Konflik antaragama itu menciptakan sikap saling curiga dan prasangka berlebihan terhadap komunitas berbeda agama. Dalam kondisi yang tersegregasi itu generasi muda kehilangan kesempatan untuk mengalami hidup bertetangga dalam keragaman agama. Dalam situasi ketika aktivitas kolaboratif antarkomunitas berbeda agama tidak mendapat ruang yang terbuka, narasi kebencian dan permusuhan akan mudah direproduksi.

Perempuan dan perdamaian

Perempuan dan anak merupakan dua kelompok paling rentan dalam masa konflik Ambon 1999-2002. Sementara para pria dewasa ikut dalam pertempuran, perempuan tinggal di rumah bekerja  untuk menafkahi anak sambil diliputi kecemasan, terutama ketika banyak anak diekploitasi oleh orang dewasa untuk terlibat dalam pertempuan.

Namun perempuan tidak tinggal diam melihat kondisi yang semakin parah ini. Perempuan lintas iman yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Peduli (GPP) memperjuangkan penghentian kekerasan. Pada bulan Agustus 1999, perempuan-perempuan Katolik dan Protestan yang didukung oleh Paula Renyaan, wakil Gubernur Provinsi Maluku saat itu, mengadakan pertemuan untuk merespons maraknya kekerasan dalam konflik Ambon. Dari sana mereka bersepakat untuk melibatkan perempuan-perempuan Muslim dalam aksi bersama berupa kampanye penghentian kekerasan. Inisiatif tersebut mendapat tanggapan positif dari jejaring perempuan-perempuan Muslim. Dengan pengawalan ketat pihak keamanan, rombongan perempuan-perempuan dari latar belakang agama yang berbeda itu bertemu di depan kantor Gubernur Maluku. Mereka membagikan pita-pita hijau bertuliskan seruan “Hentikan Kekerasan” kepada siapa saja yang ditemui di jalan. “Secara filosofis, hijau, sama seperti daun maupun tanaman, melambangkan kehidupan, dan dengan demikian kampanye yang dilakukan itu merupakan kampanye pro-kehidupan,” ujar Pdt Margaretha Hendriks-Ririmasse, salah satu inisiator GPP.

Aksi nir-kekerasan tersebut berlanjut dengan pembacaan “Suara Hati Perempuan” yang disaksikan oleh Pimpinan Polda Maluku, Panglima Pangdam  XVI/Pattimura, dan Gubernur Provinsi Maluku. Atas pertimbangan keamanan, pembacaan “Suara Hati Perempuan” itu dilakukan oleh kelompok perempuan-perempuan Kristiani dan baru pada hari berikutnya deklarasi yang sama dibacakan secara terpisah oleh perempuan-perempuan Muslim. Aspirasi perempuan yang disalurkan dengan cara nir-kekerasan tersebut berlangsung di lokasi seputar area Kantor Gubernur Maluku, Kantor DPRD Maluku, dan Kantor Walikota Ambon.

Rekonsiliasi akar rumput: perempuan dan anak muda

Setelah kampanye penghentian kekerasan itu, Gerakan Perempuan Peduli (GPP) mengadakan sejumlah terobosan berupa lokakarya untuk merintis jembatan relasi bagi perempuan-perempuan Muslim dan Kristiani di akar rumput. Di antaranya, sebagaimana disebut awal tulisan ini dan disorot dalam film Beta Mau Jumpa, adalah relasi perempuan Kristen-Muslim yang sebelum konflik tinggal di kampung Batu Merah Dalam.

Pada tahun 1999, dua bulan setelah pecah konflik Ambon, sekitar 700 keluarga Kristen meninggalkan Batu Merah Dalam dan kemudian di tampung sebagai pengungsi di Wisma Atlet Karang Panjang. Laiknya kamp pengungsian lainnya, Wisma Atlet yang berada di Karang Panjang disekat dengan triplek atau kardus dalam ukuran 3×3 meter untuk setiap keluarga. Di sana mereka menetap selama 6 tahun dengan fasilitas seadanya. Tahun 2003, Pemerintah Daerah Ambon menawarkan tiga pilihan kepada para pengungsi: repatriasi, relokasi, atau transmigrasi. Mereka ingin kembali ke tempat semula di Batu Merah Dalam. Tetapi karena tidak tersedianya jaminan keamanan, akhirnya mereka memutuskan tetap tinggal di lokasi pengungsian sambil menunggu proses relokasi.

Pada 2006, 410 keluarga eks-pengungsi di Wisma Atlet Karang Panjang pindah ke kawasan relokasi Kayu Tiga, yang berjarak sekitar 7 Km dari Batu Merah Dalam. Status tanah yang mereka tempati saat itu masih berupa sitaan pemerintah. Atas bantuan salah satu partai politik, dan dengan mengantongi biaya pemulangan serta tambahan pinjaman dari bank, mereka berhasil melunasi biaya kaplingan tanah perkeluarga sebesar Rp 6 juta. Walaupun demikian, perseteruan perihal status kepemilikan atas tanah itu tidak kunjung usai,  sehingga belum semua warga eks-pengungsi yang direlokasi ke Kayu Tiga tersebut menerima sertifikat kepemilikan atas tanah mereka. Berbeda dengan kondisi hidup bertetangga warga Muslim-Kristen ketika mereka masih tinggal di Batu Merah Dalam, di daerah relokasi Kayu Tiga ini semua warganya beragama Kristen. Sebaliknya, setelah konflik, kampung Batu Merah Dalam kini hanya ditempati oleh warga Muslim. 

Salah satu tokoh dalam film Beta Mau Jumpa, Ote Patty, pernah mengikuti salah satu lokakarya GPP yang berlangsung di Karang Panjang pada tahun 2001 dan dihadiri oleh perempuan-perempuan Muslim dan Kristen. Di akhir lokakarya, peserta ditantang untuk melakukan inisiatif damai dari diri sendiri. Merespons tantangan tersebut, Ote yang saat itu masih tinggal di lokasi pengungsian Wisma Atlet Karang Panjang mengajak sekitar 20 orang perempuan Muslim peserta lokakarya tersebut untuk berkunjung ke lokasi penginapannya. Ajakan itu mengagetkan dan menakutkan, karena saat itu tingkat kepercayaan antar warga komunitas Muslim dan Kristen masih berada pada titik terendah untuk saling berkunjung. Tetapi Ote meyakinkan mereka bahwa dirinya adalah taruhan dan penjamin untuk keselamatan mereka. Kunjungan itu merupakan suatu terobosan yang meruntuhkan prasangka kedua belah pihak, baik para perempuan Muslim itu maupun warga Kristen di pengungsian Wisma Atlet Karang Panjang.

Pada 2004, Ote kembali membuat terobosan dengan mengajak perempuan-perempuan di lokasi pengungsian Wisma Atlet untuk berkunjung ke kampung Muslim di Batu Merah Dalam guna memberi ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Bagi Ote, trauma yang muncul dalam peristiwa konflik harus dilawan dengan tindakan nyata. Tindakan Ote itu berangkat dari kesadaran bahwa Batu Merah Dalam telah menjadi bagian penting dari hidupnya. Lebih dari separuh usianya ia habiskan di sana dengan semua pengalaman dan kenangan baik tentang lingkungan maupun relasi kekerabatan hidup bertetangga.

Walaupun masih diliputi rasa takut dan trauma, sebagian besar perempuan tersebut sangat ingin kembali bertemu tetangga mereka, warga Muslim di Batu Merah Dalam. Para tetangga di Batu Merah Dalam yang telah menantikan kunjungan itu menyambut mereka penuh haru dan gembira. Peristiwa itu menjadi terobosan penting dalam upaya membangun kembali saling percaya antara kedua komunitas dan sekaligus mengonfirmasi bahwa mereka sama-sama menjadi korban dalam peristiwa konflik itu. Ketika warga di pengungsian Wisma Atlet Karang Panjang telah direlokasi ke Kayu Tiga, perempuan-perempuan dari Batu Merah Dalam melakukan kunjungan balik, yang meski khawatir berusaha meyakinkan diri bahwa warga Kayu Tiga tidak akan mencelakai mereka.

Hubungan yang dibangun kembali oleh perempuan Muslim dari Batu Merah Dalam dan perempuan Kristen dari kawasan relokasi Kayu Tiga itu merupakan contoh rekonsiliasi di akar rumput. Perempuan-perempuan Muslim di Batu Merah Dalam kini tergabung dalam Community Center Lograf dan perempuan-perempuan Kristen di Kayu Tiga yang tergabung dalam Community Center Betabara pernah hidup bertetangga. Meski kedua lembaga ini baru diresmikan pada 2016, hubungan kedua komunitas sudah dibangun sejak bertahun-tahun sebelumnya, antar lain melalui budaya saling kunjung dan bertukar pemberian.

Saling kunjung dan bertukar pemberian di kalangan teman atau tetangga telah mentradisi di Ambon, jauh sebelum konflik, antara warga Muslim dan Kristen pada perayaan Natal maupun Idul Fitri. Pada saat Natal, perempuan-perempuan dari Batu Merah Dalam menyiapkan makanan seperti ketupat dan opor untuk dibawa serta dalam kunjungan mereka ke Kayu Tiga. Di sana mereka menyantap makanan itu bersama. Sebaliknya pada perayaan Idul Fitri, perempuan-perempuan dari Kayu Tiga menyiapkan makanan siap saji berupa kue yang dibawa dalam kunjungan mereka ke Batu Merah Dalam. Saling kunjung juga terjadi ketika ada pernikahan atau kedukaan di daerah masing-masing. Mereka tetap merawat tradisi itu walaupun kini dalam kondisi tinggal terpisah.

Selain kedua komunitas perempuan lintas agama tersebut, film Beta Mau Jumpa juga mengangkat aktivitas anak muda lintas agama yang tergabung dalam Jalan Merawat Perdamaian (JMP). Dalam kondisi yang tersegregasi, anak-anak di masing-masing kampung tidak memiliki kesempatan untuk berinteraksi bebas dengan teman sebayanya yang berbeda agama. Sementara di dalam cerita-cerita orang dewasa, utamanya mengenai pengalaman di masa konflik,  seringkali terselip narasi permusuhan terhadap kelompok agama lain.

Menurut observasi JMP, anak-anak rentan terpapar warisan kebencian yang membangun tembok sosial terhadap orang lain yang berbeda agama. Menyadari kondisi ini, JMP bekerja menyebarkan cerita-cerita damai bagi anak-anak untuk melawan narasi-narasi  kebencian itu. Sarana utama yang mereka pakai adalah cerita. Di samping itu, JMP juga mengadakan Kemah Pemuda Lintas Iman dengan menghadirkan orang-orang muda dari berbagai latar belakang agama dalam sebuah kemah bersama untuk belajar dan berbagi pengalaman mengenai nilai-nilai toleransi dan praktik hidup dalam masyarakat yang beragam.

Salah seorang figur yang membawakan dongeng damai di JMP dan disorot dalam film ialah Eklin de Fretes (l. 1992), lulusan Fakultas Teologia Universitas Kristen Indnesia Maluku (UKIM). Eklin berusia 7 tahun ketika pecah konflik Ambon. Sebagai anak tentara, pada masa konflik Eklin hidup di lingkungan yang relatif jauh lebih aman di asrama tentara di Masohi, pulau Seram. Dengan demikian ia tidak secara langsung merasakan akibat konflik. Eklin baru menyadari betapa seriusnya akibat konflik itu bagi orang-orang di dekatnya, ketika ia sudah beranjak dewasa. Setelah usai konflik, Eklin tinggal bersama neneknya di Kampung Kristen Kuda Mati. Neneknya pernah bertetangga dengan beberapa warga Muslim asal Buton sebelum masa konflik.  Konflik 1999 menyebabkan semua warga Muslim keluar dari Kuda Mati. Sebagian dari mereka, termasuk tetangga neneknya pindah ke Kampung Muslim Batu Merah. Pada suatu hari, Eklin bercerita kepada neneknya tentang pertemanannya dengan beberapa warga Muslim dan kunjungannya ke kampung Muslim. Cerita itu mendapat respons yang cukup mengagetkan dari neneknya, “Biar saya dibunuh, saya tidak akan pergi ke Kebun Cengkeh.” Daerah Kebun Cengkeh di dekat Batu Merah pernah menjadi markas kelompok Laskar Jihad di Ambon pada masa konflik, dan merupakan suatu area yang paling  dihindari oleh warga Kristen, sebaliknya Kuda Mati adalah salah satu area yang paling dihindari warga Muslim.

Respons tersebut sekaligus menggambarkan bahwa walaupun konflik telah usai lebih dari lima belas tahun, masih ada banyak orang di Ambon, baik Muslim maupun Kristen, yang belum lepas dari trauma pada masa konflik. Dengan merujuk pada pengalaman mereka sendiri atau pengalaman orang lain di masa konflik, mereka  tidak segan-segan mengingatkan anak-anak tentang adanya bahaya atau rencana jahat yang mungkin sedang dirancang oleh pihak lain. Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Eklin, perlu ada ruang-ruang perjumpaan yang dari sana dapat tumbuh saling percaya dan toleransi. Kehadiran JMP antara lain untuk menyediakan ruang-ruang perjumpaan tersebut. Sejauh ini Eklin telah membawakan dongeng damai di lebih dari 100 lokasi, baik bagi anak-anak Muslim atau Kristen saja maupun secara bersamaan dihadiri oleh anak-anak dari dua komunitas ini.

Penutup: memperluas ruang perjumpaan

Kota Ambon yang sempat porak-poranda oleh konflik 1999 telah mengalami pembangunan kembali di bidang infrastruktur secara besar-besaran. Secara sepintas sulit menemukan bekas-bekas puing akibat konflik itu. Bangunan-bangunan ibadah berupa masjid dan gereja tampak berdiri dengan megahnya, demikian halnya kantor-kantor pemerintah, gedung-gedung sekolah dan kampus yang telah mengalami renovasi. Di sektor ekonomi pasar-pasar telah beroperasi secara normal. Pembenahan pada sarana  transportasi udara dan laut menempatkan Ambon sebagai salah satu pusat pengembangan kawasan kepulauan di Indonesia bagian timur. Di bidang transportasi darat, terdapat perubahan drastis sejak  beroperasinya Jembatan Merah Putih pada tahun 2017. Jembatan penyeberangan sepanjang 1.140 m yang  menghubungkan teluk Ambon tersebut, selain mengurai kemacetan dan memangkas waktu tempuh transportasi darat dari Kota Ambon menuju Bandara Internasional Pattimura, juga memiliki fungsi sosial sebagai ikon baru kota Ambon.

Mungkin tidak mudah untuk menampik bahwa masih ada potensi untuk muncul konflik lagi, tapi ada frasa yang kini banyak diungkap warga Ambon dan cukup menangkap memori kolektif mereka: Katong su cape. Frasa ini menggambarkan suatu kelelahan secara psikologis dan moral dan demikian menjadi peluang yang menjanjikan bagi kerjasama dan hidup Bersama lintas agama pascakonflik. Konflik Ambon dengan skala yang begitu besar dan dalam waktu yang lama itu menimbulkan kerusakan dan penderitaan yang luar biasa dalam hampir semua aspek kehidupan warga Maluku. Dari kondisi tersebut, pihak-pihak yang bertikai memutuskan untuk meletakan senjata dan mengakhiri konflik.

Namun demikian, katong su cape cenderung ingin melupakan konflik ketimbang secara aktif ambil bagian dan terlibat dalam berbagai upaya menjembatani hubungan lintas agama. Narasi permusuhan dan prasangka kebencian, baik yang diwariskan di dalam maupun diimpor dari luar, masih belum terputus sepenuhnya. Di sinilah letak pentingnya penciptaan dan perluasan ruang-ruang perjumpaan lintas agama. Film Beta Mau Jumpa berkeinginan untuk turut ambil bagian dalam upaya menebarkan nilai-nilai perdamaian dan memperluas ruang perjumpaan lintas agama ini.[]

___________________

Bacaan lain:

Carita Orang Basudara (buku, LAIM dan PUSAD Paramadina, 2014)

21 Tahun Gerakan Perdamaian di Maluku (esai pendek)

Pewarisan Narasi Konflik dan Tantangan Rekonsiliasi di Ambon (esai pendek)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *