Bacaan Pendamping Film Semesta Peran Perempuan
—Ditulis oleh Ronald Adam, mahasiswa CRCS UGM 2019
Hari ini, saat berbicara pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, perempuan seringkali ditempatkan sebagai subjek yang erat kaitannya dengan wilayah domestik rumah tangga (kerja-kerja reproduksi sosial) seperti merawat anak, memasak, dan mengurus rumah. Kerja-kerja domestik itu selalu dikonstruksikan secara sosial sebagai tanggung jawab perempuan (istri/ibu). Sebaliknya, laki-laki (suami/ayah) selalu ditempatkan secara sosial sebagai subjek yang memiliki tanggung jawab dalam mencari nafkah yang hari ini, dalam mayoritas kasus, sebagai pekerja upahan.
Fenomena itu turut dikonstruksi dan dilegitimasi oleh berbagai hal seperti agama, budaya, pendidikan, maupun diferensiasi tenaga kerja spesifik laki-laki dan perempuan di dunia pekerjaan itu sendiri. Konstruksi itu pula yang menjadikan laki-laki dianggap lebih berperan dominan di dunia profesi atau pekerjaan. Sementara itu, perempuan yang melakukan kerja-kerja reproduksi sosial tidak pernah dianggap sebagai jenis pekerjaan sebagaimana kerja produksi upahan lainnya hanya karena tidak menghasilkan uang sehingga perannya tidak signifikan. Anggapan itu pada gilirannya memiliki implikasi sosial, yaitu subordinasi perempuan.
Perempuan akhirnya selalu dipandang sebelah mata dalam dunia pekerjaan dan profesi hari ini. Padahal, pandangan itu tentunya mengabaikan setidaknya dua hal. Pertama, perempuan dalam sejarahnya memiliki kaitan erat dan kontribusi yang besar dalam dunia pekerjaan yang menghasilkan upah, meskipun dalam beberapa kasus mulai tersingkir dan terdomestikasi karena beberapa proses. Kedua, sekalipun mereka tersingkir dari pekerjaan yang menghasilkan upah dan melakukan kerja kerja reproduksi sosial, kerja-kerja mereka tetap penting dan bahkan fundamental pada sistem kerja upahan.
Untuk memahami seperti apa bentuk dan jenis kerja-kerja perempuan, dan bagaimana peran dan kontribusi mereka di dunia pekerjaan dan profesi itu, Indonesian Pluralities merilis film berjudul Semesta Peran Perempuan, yang merupakan seri kelima dari seri film pendek untuk menemani siswa-siswi sekolah menengah. Film ini menyoroti berbagai jenis profesi dan pekerjaan perempuan di berbagai aspek masyarakat yang seringkali luput dan bahkan tidak pernah dihitung sebagai jenis pekerjaan.
Film ini juga menyoroti bahwa partisipasi perempuan dalam pekerjaan dan profesi bukanlah hal baru. Kerja-kerja yang dilakukan perempuan sudah dijalankan oleh mereka yang hidup di masyarakat tradisional secara turun temurun. Dalam masyarakat modern, jenis pekerjaan perempuan pun sudah sangat beragam, dan saat ini partisipasi perempuan dalam profesi semakin banyak. Film ini juga mengajak kita untuk melihat dan mengamati sekeliling kita lebih jauh bahwa ada banyak pekerjaan yang telah dilakukan perempuan. Beberapa profesi yang dilakukan perempuan bahkan memiliki implikasi konkret pada pelestarian budaya.
Perempuan dan Ekonomi
Perempuan memiliki peran yang sangat besar pada sejarah perekonomian dunia. Salah satu contoh konkretnya ialah perempuan menopang berjalannya proses awal industrialisasi pada revolusi industri di Inggris abad ke-19. Perempuan menjadi subjek awal pekerja industri untuk menjalankan mesin-mesin di pabrik karena harga upahnya yang sangat murah dibandingkan laki-laki. Terlepas dari proses eksploitasi perempuan dalam fenomena itu, hal ini juga menunjukan bahwa betapa pentingnya peran kerja-kerja perempuan dalam sejarah ekonomi industrialisasi di Inggris pada saat itu.
Dalam sejarah ekonomi perkebunan Indonesia, kerja-kerja perempuan juga tercatat memiliki kontribusi yang besar. Bahkan kerja-kerja perempuan memainkan peran yang paling fundamental dalam berjalannya sistem ekonomi perkebunan. Di Jolotigo, Jawa Tengah, misalnya, beberapa jenis pekerjaan di perkebunan teh selalu membutuhkan tenaga kerja perempuan. Menurut catatan etnografi Pujo Semedi (2011) A Struggle for Dignity, perempuan menjadi mayoritas tenaga kerja dalam ekonomi perkebunan teh. Bukan hanya yang paling banyak, tetapi perempuan juga menjalankan kerja-kerja inti perkebunan seperti menanam, merawat, dan memanen.
Sama halnya dalam ekonomi pertanian padi di pedesaan, kerja-kerja perempuan dalam menanam (tandur) padi menjadi pekerjaan yang tidak pernah tergantikan sampai hari ini. Baik itu dalam sistem ekonomi petani padi subsisten (yang hasil padinya dikonsumsi sendiri) maupun petani padi komoditas (yang hasil padinya dijual untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat, perempuan selalu terlibat.
Semua hal di atas menunjukan bahwa sejarah ekonomi baik itu ekonomi industri, perkebunan, maupun pertanian ditopang oleh kerja-kerja perempuan. Sejarah ekonomi dunia berdiri di atas kerja-kerja perempuan sehingga perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah ekonomi dunia.
Perempuan dan Subsistensi Keluarga
Dalam masyarakat tradisional dan masyarakat subsistensi, kita masih dapat menjumpai bahwa perempuan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan dasar keluarga. Seperti yang digambarkan dalam film ini, perempuan tua di Mentawai, dari keluarga Vincentius Ndraha, masih bekerja setiap hari untuk mencari umbi-umbian seperti keladi atau talas di ladang liar.
Hasilnya kemudian dikumpulkan dan menjadi makanan pokok keluarganya sehari-hari. Umbi-umbian tersebut cukup untuk makan satu keluarga yang berisi enam orang. Umbi-umbian itu diolah dengan cara dibakar di dalam bambu dan kemudian dimakan. Bagi masyarakat di Mentawai, ini bukanlah hal baru. Kerja-kerja perempuan untuk memenuhi subsistensi keluarga sudah dilakukan dari zaman dahulu.
Di beberapa tempat lainnya, keterlibatan perempuan dalam pemenuhan subsistensi keluarga juga masih banyak ditemukan. Dalam komunitas Sedulur Sikep (yang lebih dikenal dengan komunitas Samin), perempuan masih terlibat langsung dalam sistem pertanian. Ini terjadi karena, pertama, komunitas Sedulur Sikep masih mempertahankan sistem pertanian sebagai bagian dari cara mereka mempertahankan ajaran dan pitutur para leluhur mereka. Kedua, sistem pertanian Sedulur Sikep sebagai sumber utama subsistensi keluarga mereka masih melibatkan tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan. Keterlibatan kerja perempuan dalam bertani juga bukanlah hal baru sebab sudah dilakukan turun-temurun dan itu merupakan bagian dari tradisi dan ajaran mereka. Perempuan memiliki keterlibatan yang sama dengan laki-laki dalam sistem pertanian.
Domestikasi Perempuan di Pedesaan
Meskipun perempuan masih terlibat dalam sistem pertanian, keterlibatan kerja perempuan hari ini di beberapa wilayah semakin kecil karena semakin sempit pula kesempatan kerjanya. Menyempitnya kesempatan kerja perempuan dalam sistem pertanian ini disebabkan oleh berbagai proses sosial. Artinya, beberapa kerja-kerja produksi pertanian yang dulunya dilakukan perempuan menghilang akibat dari proses dan perubahan sosial, meskipun proses dan perubahan sosial itu sendiri tidak bermaksud menyingkirkan perempuan dari sistem pertanian. Dalam beberapa studi agraria kritis, proses ini dianggap sebagai proses penyingkiran perempuan dari kerja-kerja produksi.
Di Indonesia, ada beberapa bentuk konkret dari perubahan sosial yang berdampak pada menyempitnya keterlibatan kerja perempuan di dalam produksi pertanian, dan lambat laun akan terancam menghilang. Salah satunya adalah tergerusnya sistem panen padi “derep” yang dilakukan perempuan (penderep) menggunakan alat “ani-ani” (alat pemotong batang padi). Sistem ini juga masih mengandaikan sistem geblok (merontokan padi dengan cara memukulnya ke kayu) yang mana perempuan juga terlibat dalam sistem ini. Jenis-jenis pekerjaan itu terancam hilang hari ini karena proses intensifikasi dan teknologisasi pertanian (“revolusi hijau”) yang dimulai pada 1970.
Proses intensifikasi pertanian menjadi jalan masuknya bibit-bibit baru (seperti benih padi varietas IR 42, 46, dan 64) yang masa tanamnya lebih singkat dan tinggi tanamannya lebih pendek. Bibit baru ini juga menggunakan teknologi mesin perontok padi (mesin Dos). Bibit yang lebih pendek dan adanya mesin perontok itu mengganti sistem panen derep dan sistem geblok dengan sistem panen tebasan. Sistem panen tebasan ini dilakukan oleh laki-laki yang menggunakan arit untuk memotong batang padi dan kemudian merontokan hasil panen tersebut dengan mesin Dos.
Meskipun intensifikasi dan teknologisasi pertanian bertujuan pada surplus hasil panen petani, proses itu secara perlahan mengakibatkan hilangnya sistem panen derep yang mengandaikan tenaga kerja perempuan. Akibatnya, proses itu mempersempit kesempatan kerja perempuan untuk terlibat dalam sistem pertanian, dan pada gilirannya memaksa para perempuan yang tidak punya akses kerja di pertanian untuk melakukan lebih banyak kerja di wilayah domestik dalam kehidupan pedesaan. Proses ini juga bisa dilihat sebagai proses domestikasi perempuan.
Perempuan dan Kerja Rumah Tangga
Meskipun perempuan menjadi subjek langsung dari proses domestikasi, kerja-kerja domestik atau rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengurus dan merawat, anak, pasangan dan diri sendiri tetap merupakan bentuk kerja yang sangat penting. Kerja rumah tangga ini juga bisa disebut sebagai kerja reproduksi sosial. Kerja-kerja ini kebanyakan dilakukan oleh perempuan, akibat dari proses domestikasi maupun konstruksi sosial yang turut dilegitimasi budaya, agama, pendidikan, dll.
Kerja reproduksi sosial ini akan selalu ada dan keberadaannya justru menjadi sangat penting dalam sistem kerja produksi upahan. Pertama, unit kerja reproduksi sosial tidak terpisahkan dari kerja-kerja produksi upahan lainnya yang mengandaikan bentuk tenaga kerja manusia. Sementara itu, tenaga kerja manusia sebagai inti dari sistem kerja upahan dihasilkan dari kerja-kerja reproduksi sosial. Dalam kasus pekerja industri, misalnya, para pekerja memiliki tenaga kerja yang harus terus direstorasi setiap hari untuk kembali bekerja keesokan harinya. Sementara proses restorasi tenaga buruh tersebut merupakan hasil dari reproduksi sosial dalam skala rumah tangga yang intensif itu. Artinya, tenaga kerja bukanlah variabel yang berdiri sendiri, ia selalu mengandaikan kerja-kerja reproduksi sosial untuk merestorasinya kembali.
Kerja-kerja reproduksi sosial ini menjadi sorotan utama dari beberapa kalangan akademisi feminis kritis. Beberapa akademisi kritis itu menempatkan kerja reproduksi sosial sebagai inti dari berjalannya sistem perekonomian upahan dunia modern meskipun kerja-kerja reproduksi sosial tidak pernah dihitung dan tidak pernah dianggap sebagai jenis “kerja” – sebagaimana kerja-kerja produksi upahan. Tetapi justru kerja-kerja reproduksi sosiallah yang memungkinkan adanya tenaga kerja dari pekerja upahan tersebut. Tanpanya, tidak akan ada tenaga kerja.
Perempuan dan Kelestarian Budaya
Kontribusi perempuan dalam dunia pekerjaan tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga (dalam sistem ekonomi subsisten) maupun reproduksi sosial. Kerja-kerja perempuan juga memiliki beberapa implikasi konkret terkait pelestarian budaya (atau agama).
Seperti yang telah ditunjukan dalam bagian film Semesta Peran Perempuan yang menyoroti cerita Herlin dari Madiun, Jawa Timur. Herlin adalah seorang perempuan yang bekerja untuk membuat wayang dari kertas sebagai cinderamata. Pekerjaan yang dilakukan Herlin merupakan kerja yang sudah dilakukan turun temurun dari orang tuanya yang juga merupakan seniman dan pembuat wayang sekaligus pendiri sanggar hias karya budaya tahun 1990.
Dalam cerita itu, Herlin sebetulnya bukan sekadar meneruskan produksi wayang yang sudah dilakukan orang tuanya, tetapi ia juga mempertahankan pengetahuan budaya mengenai wayang itu sendiri dan memproduksi ulang pengetahuan itu melalui wayang yang ia buat. Herlin juga turut menyebarkan pengetahuan budaya itu dengan cara mengenalkan tokoh-tokoh pewayangan kepada turis-turis yang datang dari berbagai macam negara seperti Australia, Amerika, Korea, China dslb. Proses yang Herlin jalani ini harus dipahami sebagai proses pelestarian budaya.
Profesi perempuan dan pelestarian budaya seperti itu juga bisa ditemukan di berbagai daerah lainnya. Dalam masyarakat adat suku Baduy, misalnya, sistem menenun kain tradisional yang dilakukan perempuan juga merupakan praktik pelestarian budaya. Dalam produksi kain tenun itu, terdapat produksi budaya seperti nilai, makna, ataupun simbol yang melekat pada motif, warna dll. Perempuan sebagai penenun memiliki pengetahuan budaya tersebut yang sebetulnya diwariskan dari generasi-generasi sebelumnya.
Nilai, makna, dan simbol kebudayaan pada kain tenun itu akan terus ditransmisikan oleh para pekerja perempuan sebagai penenun. Dari hal ini pula, profesi perempuan penenun harus dipahami dalam pelestarian budaya. Dan pada gilirannya, pekerja perempuan di atas bukan sekedar aktor-aktor produksi, tetapi juga aktor kebudayaan yang memastikan lestarinya nilai-nilai dan pengetahuan budaya yang melekat pada profesinya.
Leave a comment