Bacaan Pendamping Film Spiritualitas dan Kelestarian Lingkungan

—ditulis oleh Ronald Adam, mahasiswa CRCS UGM angkatan 2019

Ketika berbicara tentang ekologi hari ini, kita tidak bisa mengabaikan peran agama dan kepercayaan. Sebabnya ialah satu fakta keras yang susah ditolak: mayoritas orang saat ini, lebih-lebih yang mendiami Indonesia, adalah orang-orang beragama, dan pada saat yang sama agama menjadi faktor penting dalam menentukan tingkah laku keseharian mereka. Upaya pelestarian ekologis, dengan demikian, tidak bisa mengesampingkan peran agama.

Namun, satu hal lain yang juga tidak mudah untuk disangkal ialah bahwa ajaran agama atau kepercayaan dapat berdiri di dua sisi: berkontribusi pada kerusakan lingkungan atau pelestarian ekologis. Dalam dunia akademik, kajian agama-dan-ekologi memang dipicu oleh kesadaran akan adanya peran agama dalam krisis ekologis. Di antara bacaan yang biasanya dipakai pada pertemuan-pertemuan awal mata kuliah agama-dan-ekologi adalah tulisan Lyn White Jr., The Historical Roots of Our Ecological Crisis (1967). Di dalam karya klasiknya White antara lain menyatakan bahwa antroposentrisme yang dibawa agama-dunia (dengan Kristen sebagai sasaran khusus dari kritik White) adalah pandangan yang bertanggung jawab atas kerusakan alam.

Tetapi di sisi lain, bila melihat praktik-praktik keagamaan, kita melihat agama juga memiliki kekuatan untuk menggerakan umatnya dalam melawan kerusakan ekologis ini. Kabar baiknya, banyak agama hari ini sudah mulai meninjau ulang praktik dan ritus-ritus yang berimplikasi pada degradasi lingkungan dengan menafsirkan kembali ajarannya, mengeluarkan fatwa keagamaan, dan mengampanyekan kesadaran akan pentingnya merawat lingkungan dengan berbasis pada ajaran agama. Bukan saja agama-dunia, gerakan adat dan kepercayaan religius lokal juga turut berkontribusi besar pada kelestarian lingkungan.

Hal terakhir itulah yang disorot dalam film keempat dari seri film pendek Indonesian Pluralities berjudul Spiritualitas dan Kelestarian Lingkungan yang hadir dalam rangka menemani siswa-siswi sekolah menengah untuk #BelajarDariRumah. Film ini menyoroti berbagai tradisi agama dan kepercayaan lokal di Indonesia yang memperjuangkan kelestarian lingkungan. Film ini ingin menunjukan betapa kesadaran untuk melestarikan lingkungan, dalam komunitas keagamaan lokal yang jumlahnya tidak sedikit, telah melekat erat pada kepercayaan religius mereka.

Kesadaran Lingkungan di Komunitas Keagamaan

Kesadaran di berbagai organisasi keagamaan di Indonesia akan krisis lingkungan kita hari ini sebetulnya sudah mulai tumbuh dan berkembang. Kesadaran ini sedikit banyak merupakan hasil dari melihat kian kentara dan akutnya degradasi ekologis akhir-akhir ini. Bentuk konkretnya ada pada respons baik itu berupa fatwa keagamaan maupun gerakan sosial lingkungan.

Di dalam agama-dunia, Aninda Dewayanti dan Norshahril Saat dalam artikelnya Islamic Organization and Environmentalism in Indonesia (2020) mencatat tumbuhnya kesadaran lingkungan serta gerakan ekologis di kalangan organisasi Islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan beberapa fatwa terkait lingkungan seperti fatwa pertambangan ramah lingkungan (No. 22 tahun 2011), fatwa pelestarian satwa langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem (No. 4 tahun 2014), fatwa pengelolaan sampah untuk mencegah kerusakan lingkungan (No. 47 tahun 2014), fatwa tentang air daur ulang (No. 2 tahun 2010), fatwa pemanfaatan amal pembangunan infrastruktur sanitasi masyarakat (No. 1 tahun 2015), dan fatwa hukum pembakaran hutan dan lahan (No. 30 tahun 2016).

Kesadaran akan degradasi lingkungan juga mulai tumbuh di dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang ditandai dengan lahirnya badan organisasi otonom yang berfokus pada isu lingkungan. NU memiliki dua badan organisasi otonom seperti Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBPI-NU) dan Gerakan Nasional Lingkungan Hidup (GNKL-NU). Sementara itu, Muhammadiyah memiliki Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah (MLHM). LPBPI-NU, misalnya, merumuskan fikih tentang penanganan sampah plastik yang terbit pada 2019.

Di sisi lain, terlepas dari masih kurang efektifnya fatwa-fatwa itu, lahir gerakan akar rumput secara organik dan independen. Pada 2011, konflik lahan di Gunung Karst Kendeng dan Urut Sewu, Jawa Tengah, menjadi momen berkumpulnya kader-kader muda NU untuk mengadvokasi isu-isu tersebut hingga pada tahun 2013 lahir organisasi non-struktural NU yaitu Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Kaum muda ini bisa dibilang merupakan generasi yang kritis terhadap pembangunan dan memiliki kesadaran lingkungan. Pada 2018, lahir Kader Hijau Muhammadiyah (KHM), yang diinisiasi oleh anak-anak muda Muhammadiyah sebagai hasil dari solidaritas para kader Muhammadiyah yang mengadvokasi warga lokal yang terlibat konflik lahan dengan korporasi besar di Waduk Sepat, Surabaya, Jawa Timur. Agenda KHM berfokus pada isu-isu sosial-ekologis seputar konflik agraria dan lahan, penggusuran, dan lain-lain yang berimplikasi besar pada kelestarian ekologis.

Di luar organisasi yang memiliki keterhubungan dengan organisasi-organisasi Islam arus utama, muncul komunitas ekologis seperti Bumi Langit dan Eco-Deen yang mempromosikan ide ‘Islam Hijau’. Di dunia pendidikan, beberapa pesantren mulai fokus pada isu lingkungan seperti Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut, Misykat Al Anwar di Bogor, dan Al-Falah di Bandung. Lembaga pendidikan ini bergerak mempromosikan nilai-nilai etika lingkungan dalam sistem pengajarannya.

Gerakan Lingkungan Orang-orang Miskin

Di samping orang-orang beragama, satu kelompok yang kadang dijadikan pihak tersalah bagi krisis lingkungan ialah kaum miskin. Ini tampak, misalnya, dari The Brundtland Report (1987) yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah penyebab degradasi lingkungan. Merespons klaim ini, Joan Martinez-Alier menulis artikel berjudul Ecology and the Poor: A Neglected Dimension of Latin American History (1991) dan mempertanyakan argumen dari laporan Brundtland itu.

Petani miskin dipaksa menanam dengan bahan-bahan kimia agar produksi meningkat tetapi mengakibatkan degradasi produktivitas lahan yang berdampak pada kerusakan ekosistem tanah. Di lingkungan perkotaan, orang-orang miskin menghadapi kekurangan air bersih dan minimnya tempat sanitasi maupun pembuangan sampah. Konsekuensi dari hal ini mengantarkan mereka pada pembuangan kotoran manusia dan sampah di sungai dengan risiko kesehatan yang tinggi. Oleh The Brundtland Report, hal ini dilihat sebagai bentuk kontribusi orang miskin terhadap degradasi lingkungan.

Kendati demikian, menurut Martinez-Alier, kemiskinan memang menjadi penyumbang degradasi lingkungan, tetapi para pemodal memiliki saham lebih besar dalam kerusakan alam melalui industri ekstraktifnya dan penggunaan energi besar-besaran yang mengandaikan pembukaan lahan, deforestasi, dan penggusuran untuk mengeksploitasi sumber energi. Kritiknya terhadap The Brundtland Report (1987) adalah, pertama, pengabaian terhadap akar-akar kemiskinan yang sebetulnya berasal dari hubungan kelas yang tidak setara berdasarkan kekuasaan dan kepemilikannya; dan, kedua, gerakan sosial yang menentang dominasi politik, pola distribusi kepemilikan, dan ketimpangan relasi kelas adalah juga gerakan ekologis, karena kemiskinan, yang menjadi penyebab degradasi lingkungan, berakar kuat pada hubungan kelas yang timpang itu. Gerakan ini bertujuan memperoleh kebutuhan ekologis untuk eksistensinya baik itu energi (termasuk kalori makanan), air, sanitasi dan sumber daya mereka. Pada akhirnya, perjuangan mereka adalah perjuangan ekologis pula.

Dalam sejarahnya, banyak gerakan sosial yang muncul dari perjuangan orang miskin yang menuntut termasuk kelangsungan lingkungan hidup tempat tinggal mereka. Beberapa gerakan kelas bawah itu meliputi gerakan Chipko di India (berbasis pada ajaran Bishnoi dalam Hindu) yang menjadi gerakan perlawanan terhadap perusahan penebang pohon-pohon di hutan. Di Brazil, ada Chico Mendes, seorang penyadap getah karet di Acre, Brazil, yang melakukan perlawanan terhadap privatisasi dan eksploitasi sumber daya alam. Mendes juga anggota sebuah kelompok Kristen dan mampu menarik aktor-aktor adat lokal.

Di Amerika Latin ada komunitas Andes. Karena ekologi yang saling bergantung antara sumber daya dataran tinggi dan dataran rendah, mereka memulihkan padang rumput dari haciendas (tanah-tanah bekas negara kolonial Spanyol). Contoh lain adalah nelayan Kerala yang menggunakan kapal layar bertenaga angin yang berjuang melawan perahu bermesin yang dianggap serakah dan menghabisi ikan-ikan di laut. Ini sebenarnya adalah perjuangan ekologis meski menggunakan argumen perlawanan terhadap eksploitasi ikan dengan tidak menggunakan bahan bakar fosil.

Meskipun dalam sejarahnya gerakan orang miskin atau kelas bawah tidak pernah menggunakan argumen-argumen ekologis, bukan berarti mereka tidak bisa dianggap sebagai gerakan ekologi. Contoh-contoh ini juga menunjukkan bahwa gerakan ekologi bisa dibangun baik dari ajaran agama maupun yang tidak secara langsung berkaitan dengan agama.

Spiritualitas dan Ekologi

Sebagaimana Martinez-Alier yang melihat gerakan kaum miskin sebagai gerakan ekologi, aktivitas masyarakat adat dan penghayat kepercayaan di Nusantara juga memiliki implikasi konkret terhadap keberlanjutan ekologis.

Contohnya, seperti yang ditunjukan dalam film Spiritualitas dan Kelestarian Lingkungan, ada dalam tradisi masyarakat Urang Kanekes, atau Suku Baduy sebagai penganut Sunda Wiwitan. Mereka membagi hutan ke dalam dua zonasi, yakni hutan ulayat dan hutan produksi. Dalam zona hutan ulayat, mereka dilarang menebang pohon maupun memperjualbelikan apa pun yang berasal dari dalamnya ke masyarakat luar. Sementara itu, hutan produksi adalah hutan untuk menopang produksi padi, buah-buahan, dan kebutuhan dasar lainnya.

Pembagian zonasi ini merupakan satu mekanisme pengelolaan hutan yang sudah dilakukan turun-temurun oleh suku Baduy dan kebanyakan masyarakat adat dan kepercayaan lokal yang banyak tersebar di Indonesia. Implikasi konkretnya ada pada konservasi hutan yang sama canggihnya dengan mekanisme konservasi hutan milik negara yang kadang cenderung mengeksklusi akses masyarakat adat terhadap hutan adat mereka.

Mekanisme adat itu dipertahankan oleh suku Baduy melalui prinsip-prinsip yang tertuang dalam ‘Amanat Buyut’ yang antara lain mencakup ajaran bahwa gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, dan larangan tidak boleh dilanggar. Prinsip tersebut juga mengejawantah dalam berbagai aktivitas keseharian. Dalam bercocok tanam, misalnya, mereka tidak diperbolehkan menggunakan zat-zat kimia produk pabrik. Sebagai gantinya mereka menggunakan daun-daun sebagai pupuk maupun obat pengusir hama. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga dilarang menggunakan sabun, pasta gigi, maupun sampo buatan pabrik karena dapat merusak air dan mencemari sungai. Mereka memanfaatkan ramuan dari daun-daun untuk kebutuhan mandi, keramas, dan sikat gigi.

Sebagai hasil dari ajaran para leluhur, menjaga hutan dan segala hal yang ada di dalamnya merupakan satu praktik spiritualitas mereka. Menjaga hutan bukan hanya dalam kepentingan subsistensi maupun ekologi. Bagi masyarakat adat, itu merupakan bentuk spiritualitas. Ada satu nilai spiritual yang terus dipertahankan dan terus diturunkan dari generasi ke generasi, yang apabila hutan itu dirampas, mereka tidak hanya kehilangan subsistensi dan ekologi mereka, tetapi juga pengetahuan, nilai, dan spiritualitas yang mereka warisi dari nenek moyang.

Relasi masyarakat adat dengan ekologinya tersebut juga dapat ditemukan di komunitas agama lokal lain seperti di masyarakat Samin di Gunung Kendeng, Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi, suku Marapu di Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain. Dalam konteks ini, perjuangan gerakan agama lokal atau adat dalam mempertahankan atau menuntut hak akses atas hutannya atau lingkungannya bukan sebatas gerakan mempertahankan subsistensi (ekonomi-politik) maupun keberlanjutan lingkungan (ekologis), tetapi juga gerakan spiritual yang mempertahankan kelangsungan pengetahuan lokal, ajaran kepercayaan dan nilai kultural yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Inilah di antara contoh praktik riil ketika melestarikan lingkungan dan merawat kepercayaan religius berjalin kelindan dan tidak dapat dipisahkan.***