Bacaan Pendamping Film Atas Nama Percaya

— ditulis oleh Dr. Samsul Maarif, koordinator riset film Atas Nama Percaya

Film Atas Nama Percaya menceritakan perjalanan panjang kelompok penghayat kepercayaan atau penganut agama leluhur untuk bertahan dari tekanan, berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari negara dan penerimaan dari masyarakat.

Penghayat kepercayaan adalah subjek penting dari sejarah bangsa Indonesia. Cerita (pengalaman) mereka adalah bagian dari catatan bangsa, sejak negara Indonesia dibentuk, bahkan sebelumnya. Mereka ikut membentuk negara bangsa ini, membebaskan diri dari penjajah. Akan tetapi, nasib mereka, sebagai kelompok minoritas dan dimarjinalkan sejak awal kemerdekaan, menunjukkan mereka seakan belum merdeka dari perlakuan penjajahan. Mereka dipaksa untuk mengikuti apa yang mereka tidak percayai. 

Film ini fokus pada dua komunitas: Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) di Jawa Barat dan agama leluhur Marapu dari Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Dua komunitas ini dimaksudkan sebagai pintu masuk untuk menceritakan sejarah dan keragaman pengalaman penghayat kepercayaan dalam memperjuangkan kesetaraan di hadapan negara dan masyarakat.

Film dokumenter berdurasi 36 menit ini memaparkan sejarah di atas dan kondisi riil penghayat/penganut agama leluhur saat ini. Secara garis besar, film ini mencakup tiga tema: 1) pengenalan terhadap penghayat kepercayaan. Mereka bagian dari sejarah bangsa, tetapi minim diketahui dan dipahami masyarakat umum. 2) Sejarah pengelolaan penghayat. Ketidak-tahuan masyarakat terhadap penghayat di antaranya disebabkan oleh kebijakan negara yang telah membuat penghayat seakan tak terlihat, tidak eksis. Jika eksis, statusnya negatif. 3) Penghayat hari ini. Akhirnya, perubahan kebijakan negara akhir-akhir ini telah memberi jaminan hak sipil kepada penghayat. Hanya saja, terlepas dari itu, penghayat masih harus terus bergulat dalam memperjuangkan hak-haknya.

A. Mengenal Penghayat Kepercayaan

Apa itu kepercayaan?

Saat ini, terdapat 188 organisasi penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur yang telah terdaftar di Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Dirjen Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Akumulasi warga penghayat dari jumlah organisasi tersebut adalah 11.288.957 jiwa. Jumlah yang sebenarnya lebih banyak dari yang disebutkan karena masih terdapat banyak penghayat kepercayaan baik di Jawa maupun di luar Jawa yang belum mendaftarkan diri.

Kata “kepercayaan” adalah istilah kebijakan yang berkaitan tetapi dibedakan dari “agama” oleh negara. Pembedaan antar keduanya lebih karena kepentingan politik (akan diuraikan pada tema kedua: sejarah pengelolaan kepercayaan oleh negara). Sebagian penghayat kepercayaan menganggap bahwa kepercayaan dan agama adalah pada hakikatnya sama. Keduanya memiliki ajaran atau tuntunan hidup, ritual, tradisi dan lain-lainnya. Keduanya mengajarkan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan (hubungan manusia dengan manusia), dan tentang alam (hubungan manusia dengan alam). Mereka bahkan menyebut kepercayaannya sebagai agama leluhur: agama yang mereka warisi dari leluhur (nenek moyang) secara turun temurun. Dengan kata lain, jika negara melalui peraturan perundang-undangannya menyebutnya kepercayaan, penghayat menyebutnya agama leluhur.

Kata kepercayaan memiliki beberapa sinonim seperti “kebatinan”, “kerohanian” dan “spiritualitas”. Sejak awal kemerdekaan hingga pertengahan 1960an, kata-kata tersebut dipergunakan secara bergantian oleh penghayat kepercayaan untuk menggambarkan komunitas dan pokok ajarannya. Inti dari semua kata dan konsep tersebut adalah pemahaman dan pengamalam esensi dan substansi ajaran keagamaan. Namun sejak akhir 1960-an, kata kepercayaan lebih populer digunakan, karena kata tersebut memiliki rujukan hukum sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945, khususnya pasal 29 ayat 2. Dalam UUD 1945 Hasil Amandemen, kata kepercayaan juga disebut pada Pasal 28E ayat 2: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.

Selain itu, kepercayaan juga memiliki kaitan erat dengan kata budaya dan adat. Banyak yang berpandangan bahwa kepercayaan adalah budaya, atau keduanya sama. Pandangan tersebut terpengaruh oleh kebijakan Orde Baru, tepatnya pada tahun 1978 melalui Ketetapan MPR IV/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyatakan bahwa kepercayaan bukan merupakan agama tetapi budaya. Secara politis (pandangan Orde Baru), budaya adalah hasil karya manusia dalam berbagai bentuk seperti seni, ritual, tradisi dan lain-lainnya tetapi semuanya berkaitan dengan urusan dunia (profan), dan tidak berkaitan dengan urusan akhirat (sakral) yang merupakan domain agama. Serupa dengan itu, kata adat bagi penganut agama leluhur sama dengan kepercayaan, sama saja dengan agama. Adatnya adalah agama dan kepercayaannya. Yang membedakan lagi-lagi adalah negara, atau pemerintah Indonesia yang mewarisi kebijakan Pemerintah Penjajah Belanda. Akibatnya hingga hari ini, masyarakat adat tidak disebut sebagai masyarakat beragama, sekalipun masyarakatnya seperti Marapu sekali lagi memahami adatnya sebagai agama (warisan) leluhurnya.

Kesimpulannya, pemaknaan kata-kata di atas dilakukan secara politis oleh negara yang mengabaikan pandangan warganya sendiri. Akibatnya, seperti akan dipaparkan pada bagian kedua, negara Indonesia sepanjang sejarahnya terus mendiskriminasi warganya, para penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur.    

Keragaman penghayat kepercayaan

Jumlah organisasi kepercayaan yang ratusan menunjukkan bahwa penghayat kepercayaan/agama leluhur sangat beragam. Keragaman tersebut tentu saja tidak dapat digambarkan secara keseluruhan dalam satu film. Pemilihan dua komunitas yang tampak kontras dalam beberapa aspek adalah upaya untuk menunjukkan keragaman tersebut. Aliran Kebatinan Perjalanan adalah tipikal penghayat kepercayaan di Jawa. Mereka tinggal di kota dan tampak lebih modern. Mereka memiliki infrastruktur organisasi yang bagus seperti kepengurusan yang solid, pengelolaan anggota yang lebih rapi, tempat ibadah layaknya penganut agama, dan seterusnya. Ketua AKP, Dr. Andri, salah satu tokoh dalam film, adalah seorang dosen di Institut Teknologi Bandung. Beliau juga bagian dari presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indoensia (MLKI), organisasi induk untuk penghayat kepercayaan. Sementara komunitas Marapu adalah tipikal penghayat kepercayaan/agama leluhur di luar Jawa. Mereka tampak kental dengan tradisinya. Banyak di antaranya memiliki struktur adat, tetapi tidak memiliki struktur organisasi (modern). Banyak orang menggambarkan mereka sebagai komunitas tradisional, bahkan tertinggal. Gambaran semacam itu tentu saja bias dengan perspektifnya yang modernis. Akan tetapi, penghayat kepercayaan di luar Jawa tidak semuanya seperti Marapu (belum terorganisir secara modern), sebagaimana tidak semua yang di Jawa seperti halnya AKP.

Di antara basis keragaman penghayat adalah karena ajaran dan tradisi mereka kental dengan lokalitas. Mereka yang di Sumatra sangat kental dengan ke-Sumatra-annya, yang di Sulawesi kental dengan ke-Sulawesi-annya, yang di Maluku kental dengan ke-Malukuannya, yang di Kalimantan kental dengan ke-Kalimantan-nya, dan seterusnya. Para pendiri organisasi kepercayaan adalah tokoh setempat, dan ajaran-ajarannya sangat terkait dengan teritori atau tanahnya. Ajaran mereka tentang alam/lingkungan (ekologis) sangat kuat. Mereka menjaga tanah, hutan, daerahnya sebagaimana mereka menjaga dirinya sendiri. Bagi mereka, tanah adalah ibu yang wajib dijaga, dipelihara dan dilestarikan, dan tidak boleh dirusak atau dijual. Di antara alasan yang berbasis pada ajaran kepercayaan/agama leluhurnya adalah bahwa tanah, gunung, hutan, sungai dan lain-lainnya telah memberi yang dibutuhkan oleh mereka manusia. Manusia dengan demikian wajib membalas jasa dengan menjaga dan tidak menghancurkannya. Kasus komunitas Marapu dalam film adalah ilustrasi konkretnya. Jangankan merusak atau menjualnya, mengambil gambar dari dekat saja tidak diperbolehkan. Demikian salah satu bentuk kedekatan mereka dengan tanah dan teritorinya.

Distigma primitif, dituduh sesat

Dengan alam saja sangat peduli, apalagi dengan manusia. Ajaran kepercayaan/agama leluhur juga menekankan bahwa kita semua manusia adalah satu kesatuan yang utuh. Kita semua bersaudara. Ajaran tentang ketuhanan tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Nama organisanya saja sudah secara literal menegaskan demikian: Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Terlepas dari kemuliaan ajarannya, penghayat kepercayaan harus mengalami diskriminasi dan bahkan persekusi dari aparat negara dalam sejarah panjang Indonesia. Mereka distigma dan diklaim primitif atau ketinggalan oleh masyarakat luas karena mewarisi tradisi leluhurnya. Di saat dunia sedang dituntut untuk berkembang maju dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, penganut agama leluhur dituduh menentang perkembangan dan pembangunan, karena mereka memilih hidup bersahaja dan menjaga tanah dan hutannya. Di saat hutan banyak digunduli dan gunung ditambang untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan, mereka justru melestarikannya. Dalam beberapa dekade terakhir, jasa-jasa dari banyak penganut agama leluhur dalam melestarikan hutan mendapat penghargaan secara internasional. Dalam konteks itu, peran penganut agama leluhur dalam merespon kerusakan lingkungan dianggap penting dipelajari, bahkan diteladani.

Mereka dituduh sesat atau kafir karena ajaran dan tradisinya berbeda dari enam (6) yang diakui dan dilayani oleh negara. Demikian di antara sebabnya mengapa mereka dipersekusi sebagaimana diceritakan oleh ibu Timih Hima Yanti, salah satu tokoh dari AKP di film. Tuduhan sesat atau kafir seringkali tidak didasarkan pada pengetahuan yang valid. Dengan pandangan yang subjektif, misalnya seorang Muslim yang menggunakan perspektif ke-Islam-annya, atau Kristen dengan pandangan ke-Kristen-annya, dan seterusnya, non-penghayat menjelaskan berbagai kekurangan pengahayat/penganut agama leluhur. Tanpa dipelajari dan diteliti lebih dahulu, dan tanpa ditemui secara langsung, penghayat dilabeli dengan istilah-istilah negatif seperti disebutkan di atas.

Di antara sebab muncul dan berkembangnya stigma negatif terhadap kelompok kepercayaan/agama leluhur karena ajarannya jarang, atau bahkan tidak dipelajari atau tidak diajarkan. Masyarakat umum tidak mendapatkan pendidikan dan pengetahuan tentang kepercayaan/agama leluhur. Sebagai warga negara yang sejatinya setara dengan warga negara lainnya, penghayat kepercayaan/agama leluhur penting diketahui dan dipelajari. Kita semua penting mengenali dan menghargai, dan bahkan mendukungnya agar mereka dapat terbebaskan dari diskriminasi.

B. Sejarah Pengelolaan Kepercayaan oleh Negara

Mendefinisikan Agama, Menolak Kepercayaan.

Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah mengatur agama dan kepercayaan. Keduanya pun telah menjadi perdebatan publik dan akademik sejak saat itu. Keduanya bahkan telah menjadi bagian perdebatan politik di kalangan pendiri bangsa Indonesia saat mereka merumuskan dasar atau konstitusi negara Indonesia. Mereka yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaaan Indonesia (BPUPKI) terbelah menjadi dua kelompok. Yang pertama mengusung negara Islam dan kedua mengusung negara sekuler (negara tidak mengatur atau mengelola agama). Terlepas dari keterbelahan tersebut, pada 22 Juni 1945 BPUPKI menghasilkan rumusan konstitusi Negara Indonesia yang dikenal dengan Piagam Jakarta, yang kemudian dimasukkan dalam pembukaan dan pasal 29 dalam Konsitusi. Akan tetapi, sehari sebelum disahkan, tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1945, Piagam Jakarta diganti, tepatnya kandungan tujuh (7) kata di dalamnya: “…kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi “Yang Maha Esa”, seperti Pasal 29 ayat 1 saat ini. Pertimbangannya adalah bahwa negara tidak boleh mengistemawakan atau membeda-bedakan warga negara, dan wajib melayani setiap warga secara setara.

Pasal 29 ayat 2 ikut diubah, tetapi kata agama dan kepercayaan tetap disebutkan. Dengan Pasal tersebut, negara wajib mengatur, mengelola dan melayani (pemeluk) agama. Untuk Pasal 29 ayat 2, tidak didapatkan penjelasan tentang agama apa yang akan dilayani. Enam (6) bulan setelah Konstitusi disahkan, tepatnya setelah Departemen Agama dibentuk dan didirikan pada Januari 1946, agama yang dimaksud (untuk dilayani) baru menjadi jelas: Islam, Kristen dan Katolik. Hindu dan Buddha tidak diakui dan dilayani hingga belasan tahun kemudian, pada akhir 1950an.

Fakta sejarah pengakuan dan pelayanan agama-agama di atas menarik dan penting dicatat. Menurut catatan sejarah, Hindu dan Buddha diperkirakan telah datang dari India dan berkembang di Nusantara (yang kemudian menjadi Indonesia) sejak abad-abad pertama Masehi, jauh sebelum Islam, Kristen dan Katolik. Selain itu, kata “agama” adalah berasal dari bahasa Sanskerta dari India, yang dibawa ke Indonesia oleh orang Hindu/Buddha. Pemilik awal kata agama, dengan demikian, adalah orang Hindu/Buddha. Berbeda dengan sejarahnya, Hindu/Buddha awalnya tidak diakui oleh Departemen Agama RI. Kata agama, yang awalnya adalah miliknya, diambil alih oleh Departemen Agama. Untuk mendapatkan pengakuan, mereka harus menyesuaikan dengan makna agama yang baru, yang didefinisikan oleh Departemen Agama: memiliki konsep Tuhan, memiliki nabi, kitab suci, dan pengakuan komunitas internasional. Butuh belasan tahun bagi Hindu/Buddha untuk kemudian mendapatkan pengakuan dan pelayanan.

Poin penting dari fakta sejarah pengakuan agama di atas adalah bahwa kata agama didefinisikan oleh Departemen Agama RI, lembaga politik. Agama didefinisikan secara politik. Istilah lainnya, agama adalah konstruksi politik. Sebagai konstruksi politik, agama seyogianya menjadi instrumen bagi negara untuk melayani setiap warga negara secara setara, tidak membedakan, apalagi mengistimewakan kelompok-kelompok tertentu, sebagaimana yang menjadi alasan perubahan Piagam Jakarta di atas. Faktanya sekali lagi, negara justru melakukan sebaliknya. Melalui pengakuan dan pelayanan agama, negara mengistimewakan Islam, Kristen dan Katolik, membedakannya dengan Hindu dan Buddha hingga belasan tahun. Dalam rangkaian sejarah (negara membedakan warganya) itu, Konghucu ikut diakui pada tahun 1965, kemudian dilarang pada tahun 1967, dan baru kembali diakui pada tahun 2001. Konghucu dilarang di sepanjang sejarah rezim otoritarian Orde Baru.

Kepercayaan dibedakan

Dalam konteks sejarah pengakuan agama di atas, penghayat kepercayaan/penganut agama leluhur sejak awal dibedakan dan didiskriminasi hingga hari ini. Mereka juga telah berupaya dan berjuang untuk diakui dan dilayani sebagaimana pemeluk keenam agama di atas. Berbagai kelompok penghayat (yang awalnya menyebut diri sebagai kelompok kebatinan) mengorganisir diri dan membentuk organisasi Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI) yang diketuai oleh KMRT Wongsonegoro, salah satu anggota BPUPKI, perumus Dasar Negara RI. Mereka melakukan konsolidasi, bersatu dan bersama-bersama menuntut hak pengakuan sebagai agama.

Akan tetapi, Departemen Agama RI sejak awal menolaknya. Alih-alih mendapatkan pengakuan, mereka justru dituntut memeluk salah satu dari enam agama di atas. Mereka dilarang, bahkan diawasi agar tidak menjadi agama. Bagi Departemen Agama RI, kata kepercayaan sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 adalah bagian dari agama. Kepercayaan tidak berdiri sendiri atau terpisah dari agama. Demikian di antara alasan penolakan pengakuan terhadap kepercayaan sebagai agama. Alasan lainnya adalah kelompok kepercayaan tidak memenuhi persyaratan atau kriteria-kriteria dari defenisi agama Departemen Agama RI.

Beberapa kelompok kepercayaan sekali lagi berusaha memenuhi apa yang disyaratkan Departmen Agama. Mereka melakukan seperti yang dilakukan oleh orang Hindu. Mereka menuliskan ajarannya dan menghadirkannya sebagai kitab suci, menunjukkan bahwa mereka memiliki pendiri (yang dapat disebut nabi), dan seterusnya. Yang sulit ditunjukkan adalah pengakuan komunitas internasional. Seperti diuraikan sebelumnya, salah satu karakter kepercayaan/agama leluhur adalah keterkaitan ajaran dan tradisinya dengan lokalitas atau daerahnya. Karakter lainnya, yang khususnya membedakannya dengan agama-agama yang diakui dan dilayani oleh negara, utamanya Islam dan Kristen, adalah mereka tidak menyebarkan atau mengkonversi orang lain. Agama/kepercayaan Marapu misalnya adalah untuk orang Sumba saja. Untuk kepercayaan seperti AKP, siapapun boleh ikut menjadi (atau keluar dari) anggota. Seseorang melakukannya karena kehendak sendiri, bukan karena ajakan (atau dakwah/misionari). Dengan karakter tersebut, mereka kesulitan memenuhi persyaratan yang ada, atau Departemen Agama RI berhasil membuat kriteria yang tidak memungkinkan kepercayaan untuk diakui sebagai agama. 

Diakui dan dilayani, tetapi bukan sebagai agama.

Setelah berjuang, tetapi gagal mendapatkan pengakuan dari Departemen Agama RI, penghayat kepercayaan diarahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat ini disebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Penjelasannya adalah bahwa kepercayaan adalah bukan agama, tetapi (sekedar) budaya. Di lembaga tersebut mereka mendapatkan pengakuan dan pelayanan. Di dalamnya dibentuk suatu lembaga yang disebut Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (saat ini), yang khusus memberikan pelayanan terhadap kelompok kepercayaan. Mereka diberi bantuan untuk mengembangkan budaya (kepercayaannya).

Akan tetapi, pengakuan dan pelayanan yang mereka terima dari negara melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak menghilangkan kewajiban mereka untuk berafiliasi atau memeluk salah satu dari 6 agama di atas. Negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila mewajibkan setiap warga untuk memeluk agama (salah satu dari enam). Tampak ironis, bahwa nama kepercayaan (terhadap Tuhan Yang Maha Esa) tegas merujuk ke Sila 1 dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang merupakan rujuan hukum terkait wajibnya negara mengelola agama, justru tidak diakui sebagai agama oleh negara.

Kepercayaan, sekali lagi, memang diakui dan dilayani, tetapi status kewarga-negaraan penghayat belum dianggap penuh jika tidak memeluk salah satu agama. Mereka wajib mengikuti pendidikan agama yang dipeluknya, bukan kepercayaan yang dihayatinya. Mereka wajib melaksanakan pernikahan sesuai agama yang dipeluknya, bukan kepercayaan yang dihayatinya, jika pernikahannya ingin dicatatkan di negara.

Situasi tersebut berlangsung sejak Orde Lama. Bahkan di akhir Order Lama, setelah peristiwa 30 September 1965, dimana pemerintah pada saat itu sedang gencar-gencarnya dalam upaya membasmi Partai Komunis Indonesia (PKI), seluruh pendukung dan simpatisannya, kelompok kepercayaan pun ikut terkena dampaknya. Pada masa itu, komunisme yang dituduh sebagai anti-agama dipertentangkan dengan agama. Akibatnya, siapapun yang tidak memeluk (1 dari 6) agama segera dicurigai dan bahkan dituduh sebagai antek PKI. Ada banyak cerita bahwa mereka, seperti kelompok kepercayaan, yang tidak tahu menahu persoalan PKI, ikut diculik dan disiksa karena tidak dapat menunjukkan bahwa mereka pemeluk agama. Para penghayat kepercayaan pun berbondong-bondong menyatakan diri sebagai pemeluk salah satu agama, demi menyelamatkan diri dari persekusi.

Situasi penghayat sempat berubah setelah rezim Orde Baru menancapkan kekuasaannya, tepatnya pada periode 1973-1978. Berbeda dengan sebelumnya, pemerintah pada periode tersebut memberi pengakuan, perlindungan dan pelayanan terhadap kelompok kepercayaan. Pada tahun 1970, Golongan Karya (Golkar), partai penguasa, telah membentuk lembaga yang disebut Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK), khusus untuk mengurusi kepentigan kelompok kepercayaan, sekalipun tujuan utamanya adalah untuk kepentingan suara politik. Selain kelompok kepercayaan, kelompok masyarakat adat juga dimasukkan dan diurusi dalam SKK tersebut. Dukungan Golkar terhadap kelompok kepercayaan semakin kuat pada 1973. Melalui Tap MPR IV/1973, kepercayaan dianggap setara dengan agama, yang pada waktu itu hanya 5 minus Konghucu yang dilarang pada 1967. Penghayat boleh menikah dengan cara sistem kepercayaannya sendiri, tanpa melalui agama. Mereka bahkan dapat merayakan hari besar mereka yang jatuh pada tanggal 1 Suro, dan perayaannya dihadiri oleh Presiden dan Menteri Agama. Dapat dikatakan bahwa periode ini adalah momen politik terbaik bagi kelompok kepercayaan.

Pada tahun 1978, situasinya berubah secara drastis. Nasib penghayat kembali seperti sebelumnya, bahkan pengawasannya makin ketat. Melalui Tap MPR IV/1978, kepercayaan kembali ditegaskan sebagai bukan merupakan agama, tetapi budaya. Ketetapan tersebut diikuti dengan berbagai kebijakan untuk memastikan bahwa kepercayaan diperlakukan sekedar sebagai budaya, dan penghayatnya wajib kembali memeluk salah satu agama. Surat Edaran Kementerian Agama, dikirim ke Kementerian Dalam Negeri, selanjutnya disampaikan ke seluruh jajaran hingga tingkat paling bawah, yang misalnya menyatakan bahwa pencatatan pernikahan hanya dengan sistem pernikahan dari 5 agama. Sistem pernikahan kepercayaan tidak akan dilayani atau dicatatkan. Seorang anak penghayat yang lahir dari orang tua dengan pernikahan dengan sistem kepercayaan (tidak bisa dicatatkan oleh negara) terpaksa diberikan akte lahir dengan mencantumkan nama ibu, tanpa nama bapak. Anak tersebut menjadi obyek perundungan sebagai anak tanpa bapak (atau anak haram). Selain itu, kebijakan negara yang sangat efektif adalah pengadaan kolom agama di KTP, yang sebelumnya tidak ada. Setiap warga negara yang mengurus KTP, syarat utama yang harus dimiliki untuk mengakses segala fasilitas negara, harus menuliskan salah satu dari lima agama (Konghucu belum diakui). Hanya dengan menuliskan agama, setiap warga termasuk penghayat dapat mendapatkan KTP.

Hingga tahun 2006, penghayat terpaksa mencantumkan salah satu agama yang diakui pada kolom agama di KTP mereka. Dengan UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) 23/2006, yang salah satu pasalnya membolehkan penghayat untuk mengosongkan kolom agama di KTP, penghayat tidak lagi wajib memilih agama. Terdapat banyak penghayat mengosongkan kolom agama, tetapi sebagian yang lain tetap mencantumkannya. Di antara alasannya adalah kekhawatiran distigma dan dituduh tidak beragama. Kekhawatiran tersebut faktanya dialami oleh mereka yang mengosongkan kolom agama.

Stigma tidak beragama seringkali berupa norma sosial (sah dieksklusi secara sosial), dan bahkan berupa norma hukum (sah didiskriminasi, tidak dilayani oleh aparat sipil negara). Fakta tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review (JR) terhadap pasal pengosongan kolom agama dalam UU Adminduk 2006 oleh 4 perwakilan penghayat yang didampingi oleh sejumlah lembaga masyarakat sipil pada tahun 2016. Pada November 2017, MK melalui putusannya mengabulkan JR dan menyatakan bahwa pasal pengosongan kolom agama bertantangan dengan UUD 1945. Sejak itu, kepercayaan resmi diakui setara dengan agama. Penghayat pun sah mencantumkan kepercayaan (bukan agama) di KTP mereka.

C. Penghayat Kepercayaan/Penganut Agama Leluhur Hari Ini

Putusan MK tentu saja bukan peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Ia adalah hasil dari rangkaian upaya bertahan para penghayat dan penganut agama leluhur dengan berbagai strateginya, dan advokasi panjang baik oleh komunitas penghayat sendiri maupun oleh aktivis pendamping dan aktor-aktor lainnya.

Jaminan hak sipil penghayat

Hari ini, pemerintah telah menyediakan KTP khusus buat penghayat kepercayaan. Dengan demikian, terdapat dua macam KTP: KTP agama dan KTP kepercayaan. Penghayat kepercayaan yang kolom agama di KTP sebelumnya ditulis strip (-) atau kosong dapat meminta perubahan atau pergantian KTP dengan kolom kepercayaan di pemerintah setempat. Hingga saat ini, sudah belasan ribu penghayat yang telah mengganti dan memiliki KTP kepercayaan. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah seiring berkembangnya waktu.

Pernikahan penghayat juga sudah dapat dicatatkan. Asal dilakukan dengan prosuder yang telah disedikan, misalnya pernikahannya diselenggarakan oleh seorang penghulu penghayat yang sudah didaftarkan di pemerintah, pernikahannya akan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Sekalipun belum maksimal, pendidikan kepercayaan pun semakin dikembangkan oleh Direktorat Kepercayaan bekerjasama dengan MLKI, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat lokal. Pendidikan Kepercayaan (sebanding dengan pendidikan agama) telah diajarkan di sekolah-sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA. Murid dari anak penghayat sudah dapat menerima pendidikan tersebut karena negara wajib menfasilitasinya. Di sekolah negeri dimana ada anak penghayat kepercayaan, pendidikan kepercayaan wajib diberikan.

Respons terhadap perubahan kebijakan

Terlepas dari adanya perubahan kebijakan yang memberi jaminan hak sipil kepada penghayat kepercayaan, respon aparat pemerintah, masyarakat, termasuk penghayat sendiri masih beragam. Di berbagai daerah, pelayanan pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak penghayat belum maksimal. Di antara alasannya adalah karena sosialisasi perubahan kebijakan, khususnya tentang prosedur akses layanan, belum menjangkau seluruh penghayat/penganut agama leluhur. Terbukti misalnya bahwa dari belasan juta warga penghayat yang organisasinya terdaftar di pemerintah belum semuanya mengganti KTP. Jumlah yang telah mengganti KTP bahkan masih sangat kecil.

Selain sosialisasi, infrastruktur pelayanan juga masih minim. Dalam hal pendidikan kepercayaan misalnya, masih banyak sekolah yang belum bersedia memberikan pelayanan. Selain itu, tenaga penyuluh atau guru kepercayaan masih sangat minim jumlahnya. Terkait penyuluh/guru kepercayaan, ceritanya bahkan agak miris. Mereka adalah warga penghayat yang diberi pelatihan hingga sertifikasi oleh Direktorat Kepercayaan bekerjasama MLKI, tetapi dalam praktik pengajaran, mereka masih mengandalkan sistem swadaya, tanpa honor. Terdapat beberapa penyuluh yang harus mengajar di beberapa sekolah yang berjarak jauh hingga lintas kecamatan dan bahkan kabupaten dengan ongkos sendiri. Berbekal komitmen dan ketulusan yang benar-benar tanpa pamrih, mereka menjalankan tugas.

Kelompok warga negara non-penghayat juga belum sepenuhnya memahami penghayat kepercayaan. Ada yang telah menerima dan menghargainya, misalnya ketua NU KH. Imam Azis dan Sekjen Muhammadiyah Dr. H. Abdul Mu’ti (dua organisasi Islam terbesar di Indonesia) seperti ditampilkan di film. Akan tetapi banyak pula yang belum sepenuhnya menerimanya. Harapan misalnya agar penghayat kepercayaan dapat dilibatkan di forum-forum bersama keagamaan masih sulit dipenuhi.

Kalangan penghayat kepercayaan pun masih beragam. Terdapat beberapa yang sudah tegas secara publik menyatakan diri sebagap penghayat kepercayaan. Mereka antusias mengganti KTP-nya segera setelah dimungkinkan. Bagi mereka, setelah lama ditekan dan bersembunyi, saatnya muncul dan mendeklarasikan diri kepada publik. Di antara tujuannya adalah agar publik, sesama warga negara tahu dan paham tentang siapa penghayat. Sebagian lainnya tegas menampilkan diri sebagai penghayat, tetapi belum dapat mengganti KTP-nya. Mereka masih menggunakan KTP agama.

Ada beberapa alasan dari berbagai kelompok penghayat terkait KTP agama mereka. Pertama, mereka belum yakin dengan perubahan kebijakan yang memang relatif baru hingga hari ini. Trauma masa lalu masih cukup segar di ingatan mereka. Mereka khawatir jika di kemudian hari, kebijakan kembali berubah, dan nasib mereka kembali dikejar-kejar. Kedua, mereka merasa bahwa tetangga mereka, komunitas di mana mereka tinggal bersama, belum menerima identitasnya sebagai penghayat secara penuh. Mereka khawatir akan dikucilkan jika mengganti KTP. Ketiga, agama yang dipeluknya tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan kepercayaannya. Mereka nyaman dengan KTP agama, atau bahkan menjadi anggota komunitas agama yang baik dan taat, sambil mempraktikkan kepercayaan. Keduanya sama penting dan saling mengembangkan. Keempat, persayaratan dan prosedur pemerintah agar mereka dapat dilayani sangat memberatkan. Mereka harus memiliki organisasi kepercayaan dengan berbagai persyaratannya untuk didaftar di pemerintah. Salain kekhawatiran politik (seperti masa lalu, bagian dari trauma mereka), organisasi dengan sistem modern terlalu memberatkan atau tidak sesuai dengan karakter penghayat/penganut agama leluhur.

Penutup

Pengakuan kesetaraan yang telah diuraikan harus diakui bahwa ia jelas merupakan langkah maju menuju kewarganegaraan yang inklusif. Tetapi sejumlah tantangan masih tersisa. Sinkronisasi perundang-undangan terkait agama/kepercayaan, yang mensyaratkan kehendak politik yang kuat dari para pengambil kebijakan, mutlak diperlukan. Penerimaan masyarakat pun belum merata. Dialog dan sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas agama leluhur perlu untuk menuntaskan pengakuan dan kesetaraan bagi warga penghayat kepercayaan.

____________________________________

Bacaan lain untuk memperkaya wawasan:

Advokasi Inklusi Sosial untuk Penghayat Kepercayaan (Laporan CRCS, 2018)

Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia (Buku CRCS, 2017)

Paradigma Agama Leluhur (Esai)

Agama sebagai Konstruksi Modern (Esai)

Asal Mula Teori Animisme dan Masalahnya (Esai)

Religion and Belief in Indonesia: What’s the Difference? (Esai)

Reflecting on 2019: Indigenous languages and religions (Esai)