Bacaan Pendamping Film Berbeda-beda Tetapi Tetap Makan
— Ditulis oleh Azis Anwar Fachrudin, staf CRCS UGM. Tonton filmnya di sini
Nasi adalah makanan pokok kebanyakan orang Indonesia. Sebegitu dominannya nasi sehingga ada ungkapan “belum dihitung makan jika belum makan nasi”. Tetapi, dalam sejarah Nusantara, sebenarnya baru sekitar setengah abad mutakhir nasi menjadi makanan pokok yang dominan. Kendati demikian, ini memiliki konsekuensi yang tidak ringan, antara lain menyangkut ketahanan pangan.
Ketika merdeka, saat jumlah penduduk masih 70 juta jiwa, makanan pokok orang Indonesia masih beragam. Sagu dan umbi-umbian bertahan sebagai makanan pokok di Indonesia bagian tengah dan timur. Namun, seiring pergantian pemerintahan, keragaman makanan pokok terkikis. Sejumlah faktor terlibat dalam penyeragaman pangan ini. Salah satu yang menonjol ialah politik beras: pemerintah menggenjot produksi padi, mengubah hutan-hutan menjadi sawah, dan sebagai akibatnya menggeser makanan pokok lokal dengan nasi.
Politik pangan pemerintah ini bermula dari niatan mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan, yang juga menjadi bagian Sustainable Development Goals (SDGs). Namun ironisnya, tujuan swasembada pangan itu sulit tercapai justru karena pangan orang Indonesia seragam. Menurut data BPS, tiap orang dari sekitar 250 juta orang Indonesia hari ini rata-rata mengonsumsi 114 kilogram beras per tahun. Petani lokal tidak sanggup memproduksi jumlah sebanyak ini. Untuk menyuplai kekurangan, Indonesia mengimpor beras dari negara lain.
Mengapa Indonesia kini begitu bergantung pada nasi? Dan jika bukan dengan nasi, apa saja makanan pokok alternatif lain? Berbeda-beda Tetapi Tetap Makan, film pertama dari seri film pendek Indonesian Pluralities untuk menemani #BelajarDariRumah para siswa sekolah menengah, menampilkan sejarah pangan dan beberapa jenis makanan lokal yang bisa menjadi pengganti nasi.
Politik Pangan
Menurut Jonatan Lassa (2005) dalam Politik Ketahanan Pangan Indonesia (1950-2005), beras sebagai makanan pokok yang pelan-pelan mendominasi dapat dipancangkan akar masalahnya dari zaman kolonial. Pemerintah kolonial menekan harga beras, yang pada saat itu bukan menjadi komoditas utama, agar bisa mendapatkan harga buruh yang murah.
Kebijakan ini dilanjutkan oleh Sukarno yang masih memerlukan kesetiaan dukungan politis bagi Indonesia yang masih belia. Beras menjadi bagian dari gaji bulanan pegawai sipil dan militer. Meski ada keinginan dari Sukarno, seperti disebutnya dalam pidato di Institut Pertanian Bogor pada 1952, untuk menanami lahan kering dengan aneka tanaman yang “nilai khasiatnya sederajat dengan padi, seperti jagung, jewawut, dan kedelai,” upaya ini tidak mengalami pelembagaan yang berhasil guna dan berkelanjutan. Salah satu program Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin justru ialah “swasembada beras melalui program sentra padi”.
Soeharto melanjutkan kebijakan Sukarno dan makin menegaskan posisi nasi sebagai makanan pokok. Rezim Orde Baru memberi makan 4,6 juta pegawai negeri sipil dan setengah juta anggota militer, yang menjadi mesin suara bagi Golkar, dengan beras. Badan Urusan Logistik (Bulog) dibentuk pada 1967 dan, menurut keterangan Lassa, bertujuan menjaga ketahanan pangan Indonesia dengan dua cara: stabilisasi harga beras dan pengadaan gaji bulanan untuk PNS dan militer. Bulog juga mendapat otorisasi sebagai pembeli beras tunggal. Ditambah dengan adanya “revolusi hijau” pada 1960-an, yakni berkembangnya teknologi budidaya pertanian, beras menjadi makanan pokok yang merebut dominasi dengan tanpa hambatan.
Nilai Kultural
Seiring dominasi nasi sejak pertengahan era Orde Baru, apa yang disebut sebagai “swasembada pangan” menjadi bermakna sinonim dengan “swasembada beras”, dan “ketahanan pangan” identik dengan “ketahanan beras”. Politik pangan ini juga merembes dampaknya ke ranah kultural, yang mengejawantah misalnya pada istilah “palawija”, yang merujuk pada jenis pangan kelas dua, yakni non-beras. Hari ini, mayoritas logo pemerintahan kabupaten mengandung simbol padi.
Pengaruh kultural-politis dari penyeragaman pangan ini terasa terutama di kawasan Indonesia timur. Film Berbeda-beda Tetapi Tetap Makan menampilkan orang yang berkata, “Orang Papua makan sagu!” Selain di Papua, tidak sedikit masyarakat di Indonesia timur, seperti Maluku dan Nusa Tenggara Timur, yang memandang bahwa makanan pokok non-beras juga merupakan penanda identitas kultural mereka. Di tingkat yang agak ekstrem, sebagian masyarakat di luar Jawa bahkan memandang politik dominasi beras sebagai dominasi Jawa—padahal dulu, sebelum Indonesia lahir, nasi pun tidak menjadi makanan pokok semua penduduk Jawa, seperti akan disinggung di bawah nanti.
Antara Penyeragaman dan Ketahanan
Apakah swasembada pangan benar tercapai dengan penyeragaman makanan pokok ke nasi itu? Lembaga Pangan dan Agrikultur (FAO) PBB pernah mempersilakan Soeharto untuk berbicara di peringatan 40 tahun FAO lantaran capaian swasembada pangan Indonesia pada 1984. Dalam acara ini, Soeharto menyerahkan 100 ribu ton padi untuk membantu mengatasi kelaparan di Afrika. Ketahanan pangan di Indonesia ini diakui hingga, pada 1986, FAO memberikan medali emas dengan gambar petani menanam padi beserta tulisan “From Rice Importer to Self-Sufficiency”.
Namun, meski mendapat pengakuan telah mencapai swasembada pangan (beras), sebenarnya pada 1984 itu Indonesia masih impor beras untuk menjaga stabilitas harga beras. Menurut C.P. Timmer dan W.P. Falcon dalam Food Security in Indonesia (1991), ketahanan pangan bagi Orde Baru diartikan sebagai stabilitas harga beras.
Sejak 1990-an, Indonesia mulai mengimpor beras kembali dalam jumlah banyak. Capaian tahun 1984 sulit dipertahankan. Puncak tertingginya, pada 1999, menurut data BPS dan Kementerian Pertanian, Indonesia mengimpor beras hingga 5 juta ton. Era pasca-Reformasi, kadar impor beras menurun sementara, tetapi belum juga mencapai tingkat ketahanan pangan yang memadai. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintahan Yudhoyono menggalakkan “Revitalisasi Pertanian”, yakni pembagunan agrobisnis dan swasembada beras, jagung, serta palawija.
Sejak itu, ‘diversifikasi’ atau penganekaragaman pangan menjadi kampanye Kementerian Pertanian. Dalam peraturan nasional, UU 18/2012 tentang Pangan dan PP 17/2015 tentang Ketahahan Pangan dan Gizi menyebut klasul khusus mengenai penganekaragaman pangan.
Namun, karena beras sudah terlanjur dominan sebagai makanan pokok, kampanye diverfisikasi pangan belum menunjukkan dampak yang signifikan. Sekitar 95% orang Indonesia hari ini masih menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Dan karena jumlah penduduk makin banyak, sementara petani lokal tidak mampu menyuplai beras dengan sama banyaknya, Indonesia dari tahun-tahun ke tahun masih impor beras, khususnya dari Thailand dan Vietnam. (Lihat data impor beras Indonesia dari BPS di sini.)
Impor beras ini, yang berdampak pada ketahanan pangan, akarnya jelas: ketergantungan pada nasi.
Selain Nasi
Dalam peringatan Hari Pangan Sedunia tahun lalu (2019) Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyampaikan bahwa keanekaragaman hayati di Indonesia ialah yang terbesar kedua sedunia setelah Brasil, dan Indonesia memiliki sekitar 800 spesies tanaman sumber bahan pangan. Namun, pemanfaan keragaman pangan ini masih jauh dari optimal.
Film Berbeda-beda Tetapi Tetap Makan ingin agar pangan di Indonesia beragam lagi. Film ini merekam beberapa komunitas yang makanan pokoknya bukan nasi, seperti sagu, jagung, singkong, dan umbi-umbian.
Film ini menceritakan bagaimana sagu di kawasan lahan gambut di Sungai Tohor dikelola oleh warga. Satu pohon sagu dapat menghasilkan 150-300 kilogram bahan baku tepung sagu. Di Sungai Tohor sendiri terdapat 14 kilang sagu dan, dalam sebulan, produksi sagu desa ini mencapai 500 hingga 700 ton atau senilai 1,4 miliar rupiah. Sebagian ekspor sagu di Sungai Tohor diekspor ke kota-kota di Jawa hingga ke Malaysia. Sagu juga bisa diolah menjadi sagu telur dan mie sagu. Lekatnya kehidupan warga Sungai Tohor dengan sagu bahkan diekspresikan dalam Festival Sagu yang diselenggarakan setiap tahun. Sagu juga menjadi makanan pokok di Maluku, yang diolah menjadi Papeda. Olahan sagu lain ialah sagu bakar, hasil pembakaran tepung yang berbentuk seperti roti.
Selain sagu, jagung juga bisa menjadi pengganti nasi. Di Indonesia jagung menempati posisi kedua sebagai komoditas penghasil karbohidrat paling dibutuhkan setelah padi. Sejumlah komunitas di Madura, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan mengonsumsi jagung sebagai makanan pokok, dengan cara pengolahan yang berbeda-beda. Di Gorontalo, makanan khas berbahan dasar jagung dinamai Binte Biluhita atau biasa juga disebut milu siram, sejenis sup jagung yang dilengkapi dengan beberapa rempah sebagai bumbu.
Olahan jagung khas lainnya bernama Jagung Bose. Masyarakat NTT khususnya di Pulau Timor mengkonsumsi bose sebagai makanan pokok. Bose adalah bubur dari jagung putih yang direbus dengan santan dan campuran kacang merah. Menurut tradisi, jagung bose hanya dibuat dari jagung putih, jagung khas NTT. Sementara untuk sarapan biasanya mereka mengonsumsi umbi-umbian, warga Timor mengonsumsi jagung bose untuk makan siang dan makan malam.
Selain nasi, sagu, dan jagung, beberapa bahan pangan lain yang dikenal di Indonesia adalah singkong, yang mudah tumbuh di kawasan kering dan tandus. Karena itu pula, dulu singkong sering diidentikan dengan makanan kelas bawah. Karena mudah ditanam dan cepat mendapatkan hasilnya, warga yang berkekurangan lebih memilih menanam singkong daripada tanaman pangan lainnya. Selain umbinya, daunnya pun dapat dikonsumsi. Olahan singkong di antaranya menghasilkan gaplek yang menjadi makanan khas Wonogiri. Selain itu ada tiwul yang terkenal di wilayah Wonosobo, Wonogiri, Pacitan dan Gunung Kidul. Hari ini citra singkong tak seburuk dulu. Kue pun dapat dibuat dengan bahan dasar tepung singkong.
Selain ini semua, masih ada beberapa makanan lain yang bisa menggantikan nasi. Selain kentang, jewawut, jelai, gembili, dan umbi-umbian lain, komunitas lokal di NTT juga berupaya mengembalikan sorgum sebagai makanan pokok. Dalam buku baru berjudul Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan (2020), Ahmad Arif bahkan menyebutkan bahwa dulu, alih-alih hanya makanan lokal di NTT, sorgum juga merupakan makanan pokok di Jawa, dan kenyataan ini direkam dalam beberapa literatur klasik Jawa.
Data yang disampaikan Arif di buku itu juga layak dicatat: hingga 1954, pangan pokok berupa beras di Indonesia hanya dikonsumsi oleh 53% penduduk. Sisanya ialah ubi kayu (22%), jagung (18%), dan kentang (5%). Sejak 1987, setelah mendapat pengakuan “swasembada pangan” (atau tepatnya: swasembada beras), pola konsumsi pangan pokok kita bergeser banyak. Konsumsi beras 81%, ubi kayu 10%, dan jagung 7,8%. Tampak bahwa dalam tiga dekade saja pergeseran pola makan penduduk Indonesia secara keseluruhan berubah drastis.
Menghadapi Krisis
Pandemi Covid-19 yang melanda kini turut membawa ancaman krisis pangan. Negara-negara pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam mulai membatasi pengiriman ke Indonesia. Sementara itu, produksi beras dalam negeri menurun dan stok beras kita terancam hanya aman sampai Juli 2020. Mengantisipasi hal ini, alih-alih menggalakkan upaya penganekaragaman pangan, Presiden Joko Widodo membuka sawah baru di 900 ribu hektar lahan basah dan gambut di Kalimantan Tengah. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memprotes kebijakan ini dan menyatakan bahwa hal serupa sudah pernah dilakukan pada masa Orde Baru dengan proyek “lahat gambut sejuta hektar” dan sudah dihentikan pada 2001.
Jika makanan pokok kita beragam dan kita tidak terlalu bergantung pada nasi, konversi lahan gambut dan hutan menjadi sawah tidak harus terjadi; kita bisa lebih siap menghadapi krisis pangan; dan, dalam visi yang lebih jangka panjang, politik pangan kita akan lebih berdaulat.***