Bacaan Pendamping Film Indonesia Sekolahku

— Ditulis oleh Azis Anwar Fachrudin, staf CRCS UGM. Tonton filmnya di sini

“Salah satu ciri dari setiap masyarakat yang sehat, kuno maupun modern, berpijak pada suatu sistem bahwa seluruh masyarakat adalah sekolah. Hanya karena perkembangan yang cukup kompleks, masyarakat kita sampai menganggap bahwa yang disebut sekolah adalah sekolah formal. Dan yang paling berharga, yang paling mereka kejar-kejar, ialah ijazah. Ini adalah sesuatu yang sangat fatal bagi bangsa kita.” (Romo Mangun [1929-1999] dalam Sekolah Merdeka, h. 17; cetak tebal dari penukil.)

Banyak konsep, inovasi, dan kritik tentang penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah digagas dan, tanpa mengurangi pentingnya ide-ide itu, sebagian besar darinya menekankan pengembangan potensi anak didik di tataran individu. Dari ide-ide semacam ini lahir, misalnya, gagasan tentang pendidikan yang “memerdekakan” atau istilah lain yang serupa, yang dalam praktiknya diterjemahkan dengan menyesuaikan kurikulum atau merevisi sistem yang dipandang membebani anak, misalnya penghapusan Ujian Nasional. Hingga taraf tertentu, wacana mutakhir yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan slogan “Merdeka Belajar” juga merefleksikan hal senada.

Sementara itu, di samping optimalisasi potensi individual anak didik, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 turut menyertakan elemen sosio-kultural sebagai prinsip penting dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Pasal 4 UU Sisdiknas misalnya menyatakan bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” (Cetak tebal dari penulis)

Berangkat dari keinginan untuk menyoroti beragam aspek dari pendidikan, Indonesia Sekolahku, film kedua dari seri film pendek Indonesian Pluralities yang diproduksi khusus guna menemani #BelajarDariRumah untuk siswa-siswa sekolah menengah, hendak menangkap pengaruh (dan penerimaan terhadap) pendidikan nasional dalam aspek sosio-kultural masyarakat dan kemajemukan bangsa sebagai bagian penting dalam prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional itu.

Film ini menyoroti pendidikan anak-anak di tiga komunitas, yakni 1) suku Boti, suku asli dan tertua di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur; 2) pesantren Nurul Haramain di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat; dan 3) masyarakat Samin di pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah.

Film ini ingin menyampaikan bahwa “sekolah merdeka” bukan saja soal merampingkan sistem pendidikan dari hal-hal yang menghambat tumbuh-kembang potensi anak, melainkan juga membawa pesan, seperti pernah dinyatakan bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara, untuk “menjadikan setiap tempat sebagai sekolah dan setiap orang sebagai guru”. Pendidikan dengan demikian bukan saja tentang belajar di sekolah, melainkan juga di kehidupan sehari-hari—inilah salah satu alasan di balik judul Indonesia Sekolahku. Seperti dinyatakan dalam film, “Ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup dapat diraih baik di sekolah maupun di luar sekolah.”

Antara Modernisasi dan Tradisi

Satu hal yang akan cukup mudah ditangkap dari film Indonesia Sekolahku ialah betapa kurangnya perbincangan pendidikan kita menyangkut komunitas adat yang kurang terakomodasi dalam pendidikan nasional. Seperti ditampilkan dalam film, respons suku Boti dan masyarakat Samin terhadap pendidikan nasional mencerminkan poin ini. Mereka memandang bahwa pendidikan nasional memiliki potensi membuat anak-anak mereka meninggalkan adat dan tradisi nenek moyang.

Kekhawatiran semacam ini bukan saja ada di komunitas Boti dan Samin. Banyak komunitas tradisional lain yang berbagi hal yang sama. Di antaranya, di komunitas yang CRCS pernah terlibat ikut memfilmkannya (lihat: Our Land is the Sea), ialah suku Bajau di Sulawesi. Para orang tua Bajau mengungkapkan betapa mereka khawatir anak-anak mereka yang belajar di sekolah formal akan meninggalkan tradisi bahari yang mereka warisi dari leluhur. Komunitas lain, misalnya, ialah masyarakat agama leluhur Marapu di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang disorot dalam Atas Nama Percaya, film pertama seri Indonesian Pluralities. Mirip seperti suku Boti, para orang tua Marapu tidak menyekolahkan semua anaknya ke sekolah formal sebab mereka ingin ada minimal satu dari anak mereka yang meneruskan tradisi Marapu. Kekhawatiran lainnya, seperti disorot juga dalam film Atas Nama Percaya itu, ialah bahwa anak-anak di sekolah formal akan diajari agama lain yang cenderung menebar stigma negatif terhadap kepercayaan leluhur mereka.

Bila pandangan masyarat adat terhadap pendidikan formal itu diperas, bisa dikatakan bahwa sekolah formal membawa arus modernisasi dan hingga tingkat tertentu juga agamaisasi (i.e., upaya konversi ke agama-dunia, sebagai lawan kata dari agama lokal) terhadap anak-anak masyarakat adat. Tanpa melupakan sisi-sisi baiknya, inilah salah satu unsur pendidikan formal, dengan segala latar belakangnya seperti tuntutan pasar kerja, yang menimbulkan resistensi dari masyarakat adat dan kerap luput dalam perbincangan umum tentang sistem pendidikan nasional kita.

Dua Perspektif dari Komunitas Adat

Bila hendak mengikuti konsep “sekolah merdeka” ala Romo Mangun, yang salah satu petikan gagasannya penulis kutip di atas, beberapa unsur penting dalam pendidikan di komunitas adat justru selaras dengan gagasan sekolah merdeka itu.

Pertama menyangkut orientasi terhadap pasar kerja. Romo Mangun menyesalkan perkembangan pendidikan (dan itu sudah diungkapkannya pada beberapa dasawarsa lampau) yang dihelat dengan perspektif menghasilkan tenaga kerja. Ijazah menjadi tujuan utama, sementara makna sejati pendidikan itu sendiri memudar. Sebab mengejar ijazah, anak-anak dituntut mempelajari hal-hal yang tak disukainya atau tak menumbuhkembangkan talentanya. Padahal, bila mengikuti pandangan dari bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara, maksud pendidikan ialah “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya” (Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka; Buku I: Pendidikan, h. 20, dari tulisan tahun 1937)

Pendidikan di komunitas adat tidak begitu tercemaskan oleh orientasi pasar kerja dan ambisi mendapat ijazah itu. Yang lebih mencemaskan mereka justru ialah bila anak-anak mereka tercerabut dari akar kulturalnya setelah mengenyam pendidikan modern. Suku Boti berpandangan demikian. Masyarakat Samin bahkan lebih resisten. Bila sebagian anak suku Boti masih disekolahkan, semua anak Sedulur Sikep di komunitas Samin tidak sekolah. Sikap komunitas Samin ini bahkan berakar panjang sejak zaman kolonial. Mengikuti ajaran Samin Surosentiko, peletak ajaran Sedulur Sikep, yang menolak membayar pajak kepada pemerintah Belanda dulu, komunitas Samin hingga kini bukan saja menolak pendidikan formal, melainkan juga berdagang. Orang-orang Samin hanya boleh bekerja sebagai petani. Alasan utama penolakan terhadap pendidikan formal ialah karena dulu sekolah formal mereka pandang sebagai upaya Belanda untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan Eropa. Bagi orang Samin, seperti disebut dalam film, belajar sesungguhnya ada di kehidupan sehari-hari, di rumah, di kandang, di kebun, di sawah, dan seterusnya.

Kalimat terakhir itu juga menjadi poin kedua dari perspektif masyarakat adat yang sesuai dengan konsep sekolah merdeka Romo Mangun: “seluruh masyarakat adalah sekolah”. Pendidikan tidak saja ada bangku-bangku institusi formal, melainkan juga di kehidupan sehari-hari. Perspektif ini menyuarakan pandangan bahwa, sepanjang esensinya dapat dicapai, pendidikan bisa dilakukan di mana saja, baik terlembaga maupun tidak, tanpa harus mengunggulkan satu model di hadapan model lain. Menurut Romo Mangun, “Pemahaman sekolah adalah seluruh masyarakat dan seluruh masyarakat adalah sekolah dalam artian total dan komprehensif tadi akan bermuara pada pemahaman bahwa secara nasional maupun lokal, jalur formal dan non-formal adalah sederajat, walaupun lain panggilan, metode, serta sarana-sarananya.” (Sekolah Merdeka, h. 23; cetak tebal dari penukil)

Ekopedagogi

Kendati menyoroti masyarakat adat, film Indonesia Sekolahku tidak hendak melupakan pentingnya pendidikan formal. Seperti sudah disinggung di muka, “sekolah”, baik secara formal maupun tidak, dapat digelar dengan beragam cara, dan keduanya, sebagaimana dinyatakan Romo Mangun, adalah “sederajat”.

Pendidikan formal yang sudah berjalan pun bisa dioptimalkan. Karenanya, film ini juga menampilkan pendidikan di pesantren Nurul Haramain di Nusa Tenggara Barat. Sebagai salah satu model pendidikan tertua di Nusantara dan karena itu memiliki akar tradisi yang sudah berlangsung lama, pesantren memiliki kelebihan dari sisi penyelenggaraan pendidikan 24 jam (yang belakangan orang mengonseptualisasikannya dengan full day school). Dengan tradisi yang demikian, pesantren memiliki kekuatan bukan saja dari segi “pengajaran”, melainkan juga, seperti disebut oleh bapak pendidikan nasional sebagai unsur pokok pendidikan, “memberi contoh” (ing ngarsa sung tuladha, di depan memberi teladan) dan “pembiasaan”. (Ki Hadjar Dewantara, h. 28, dari tulisan tahun 1937)

Film Indonesia Sekolahku menyoroti bagaimana literasi ekologis diajarkan kepada para siswa melalui pembiasaan untuk bukan saja memperhatikan sampah melainkan juga mendayagunakannya agar bisa bermanfaat kembali. Pesantren Nurul Haramain memiliki kurang lebih 1.600 santri putra dan putri dan mereka bisa mengumpulkan lebih dari 1 ton sampah setiap hari. Para santri dibiasakan untuk perhatian pada sampah dan diajak untuk memilahnya: yang memiliki nilai ekonomi diberdayakan kembali, sementara yang tidak, dibakar. Yang ditekankan dalam pendidikan ini bukalah soal nilai ekonomi dari pengelolaan sampah (karena memang tidak bernilai banyak), melainkan sisi pedagogisnya.

Pembiasaan kepada para santri di pesantren Nurul Haramain untuk perhatian pada sampah dan mengelolanya kembali ialah salah satu contoh dari praktik pendidikan yang belakang disebut dengan “ekopedagogi”, yakni pendidikan yang menekankan literasi ekologis dan pembiasaan untuk meresponsnya dengan cara yang ramah lingkungan. Dalam perkembangan mutakhir, ekopedagogi telah dikonseptualisasikan di tingkat internasional guna menanggapi krisis alam akibat perubahan iklim dan perilaku manusia sendiri, untuk kemudian menyebarkan kesadaran tentangnya di dunia pendidikan.

Sarana untuk mempraktikkan ekopedagogi ini bisa beragam pula. Bila komunitas adat dan agama lokal biasanya sudah memiliki pemahaman ekologis yang melekat kuat dalam kepercayaannya, praktik di pesantren Nurul Haramain menunjukkan bahwa kesadaran ekologis pun bisa ditanamkan melalui lembaga yang berafiliasi pada agama-agama dunia. Di samping pesantren Nurul Haramain, ada sejumlah contoh lain seperti pesantren ekologi At-Thariq di Garut, Jawa Barat. Di lingkungan Katolik, beberapa sekolah menengah telah mulai menerapkan teologi lingkungan ala St Fransis Assisi.

Model pendidikan di komunitas adat di suku Boti dan masyarakat Samin dan praktik ekopedagogi di pesantren Nurul Haramain ialah beberapa dari sekian banyak contoh mengenai beragam cara menyelenggarakan pendidikan yang memberikan penekanan penting pada aspek sosio-kultural dan kemajemukan bangsa sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas. Film Indonesia Sekolahku ingin mengajak untuk membayangkan model-model pendidikan yang bisa kita jalankan untuk mewujudkan “sekolah merdeka” bukan saja di tingkat individu anak didik melainkan juga di ranah komunal. Lebih mendalam dari itu, komunitas-komunitas yang disorot dalam film ini juga mengajak untuk berpikir lagi tentang esensi dan tujuan pendidikan, termasuk “pendidikan nasional”, itu sendiri.***